TANGERANG SELATAN, HUMAS MKRI – Pemohon yang dapat mengajukan permohonan di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams saat memberikan materi dalam kegiatan UIN Law Fair VI di Auditorium Harun Nasution, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Jumat (17/3/2023).
UIN Law Fair merupakan ajang kompetisi bagi mahasiswa hukum. Kegiatan ini merupakan agenda rutin tahunan yang diselenggarakan oleh program studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun tema UIN Law Fair VI kali ini yakni, “Arah Baru Penegakan Konstitusi dan Demokrasi di Tengah Instabilitas Global”.
Wahiduddin menjelaskan, Pemohon atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum. Badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa. Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya adalah memberi kemudahan pada access to justice kepada masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat, sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara MK. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK.
Wahiduddin juga menjelaskan, beracara di MK berbeda dengan beracara di peradilan umum atau peradilan lainnya. “Mengapa saya katakan demikian, hal tersebut karena beracara di MK ada perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki MK,” kata Wahiduddin Adams.
Wahiduddin menegaskan, untuk dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) harus memiliki syarat kerugian konstitusional yang didalilkan. Kerugian konstitusional dimaksud merupakan hak yang diberikan oleh UUD 1945 yang dianggap dirugikan dengan berlakunya suatu UU.
Mengenai sistematika permohonan, ungkap Wahiduddin Adams, terdiri atas identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Permohonan untuk berperkara ke MK dapat dilakukan secara offline maupun secara online.
Berikutnya, Wahiduddin menyinggung tahap persidangan di MK, dimulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan yang dihadiri Pemohon dan/atau kuasanya serta dipandu panel hakim MK yang terdiri dari tiga Hakim Konstitusi. Panel hakim wajib memberikan nasihat dan masukan kepada Pemohon. Sidang berkutnya, perbaikan permohonan yang masih dipandu oleh panel hakim MK. Tahap berikutnya, sidang pembuktian untuk mendatangkan pihak Pemerintah, DPR, MPR atau lembaga-lembaga lainnya untuk memberikan keterangan. Termasuk juga menghadirkan ahli dan saksi.
Tahap akhir adalah sidang pengucapan putusan. Putusan MK, kata Wahiduddin, bersifat erga omnes. Artinya, meskipun permohonan dimohonkan oleh perseorangan atau individu, namun keberlakuan putusan bersifat umum dan memengaruhi hukum di Indonesia. Putusan MK juga bersifat final dan mengikat. Artinya, tidak ada upaya hukum lagi setelah adanya Putusan MK.
Selain itu, Putusan MK dapat bersifat pemberlakuan secara konstitusional bersyarat. Artinya, norma yang diuji menjadi tidak bertentangan dengan konstitusi apabila dimaknai sebagaimana dirumuskan MK. Sebaliknya, ketika norma pasal, ayat dalam UU yang diputus inkonstitusional bersyarat yakni norma yang diuji menjadi bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai sebagaimana dirumuskan MK.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.