YOGYAKARTA, HUMAS MKRI – Dalam menyusun penguatan perlindungan terhadap penciptaan lingkungan yang baik, tanpa adanya political will yang kuat dalam mewujudkanya, maka hanya akan menjadi diskursus yang tidak mempunyai kekuatan di tingkat publik. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi (MK) sejak berdiri pada 2003 silam hingga hari ini telah memberikan penguatan melalui putusannya, baik pada norma yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan berkesinambungan, maupun dalam bentuk pertimbangan hukum yang menjadi pedoman bagi pembentukan peraturan perundang-undangan dalam pembentukan undang-undang oleh Pembentuk Undang-Undang (DPR dan Pemerintah).
Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo sebagai pembicara kunci dalam Seminar Nasional Gadjah Mada National Law Conference 2023 bertema “Peran Hukum Nasional dalam Green Economy untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”. Kegiatan ini dilaksanakan di Auditorium Gedung B Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada Jumat (17/3/2023).
Berbicara tentang konsep Ekonomi Hijau (Green Economy), Suhartoyo mengatakan hal tersebut diluncurkan pertama kali oleh United Nations Environment Programme (UNEP) pada 2008. Kemudian konsep ini diselaraskan dengan Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang disahkan pada 25 September 2015 oleh 193 perwakilan dari berbagai negara. Pada intinya, konsep ini merupakan turunan dari konsep pembangunan berkelanjutan. Dengan kata lain, hal ini berkaitan dengan upaya menyelaraskan bisnis dan pembangunan infrastruktur dengan pengurangan emisi gas rumah kaca, mengekstrasi dan menggunakan lebih sedikit sumber daya alam, serta mengurangi limbah dan memperkecil kesenjangan sosial.
Dari aspek implementasi dalam konstitusi di Indonesia, sambung Suhartoyo, hal ini termaktub dalam Pasal 28H Ayat (1) dan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945. Kedua norma ini menegaskan ketentuan fundamental, baik menyoal jaminan hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, maupun terjaganya alam dari kerusakan yang ditimbulkan dari kegiatan perekonomian. Senada dengan konsep ekonomi hijau tersebut, konstitusi pun telah menunjukkannya melalui gagasan green constitution sebagaimana yang diusung oleh Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Achmad Sodiki. Menurutnya, penting ada kajian mendalam tentang gagasan “green constitution”, namun sesungguhnya jika menelisik secara lebih cermat, maka konstitusi sendiri dalam Pasal 28H Ayat (1) telah menyatakan hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pelayanan kesehatan yang baik itu merupakan hak asasi manusia. Demikian pula pada Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
“Sehingga pada dasarnya, Konstitusi Indonesia itu sendiri telah memuat gagasan dasar tentang perlindungan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Secara normatif, seluruh peraturan perundang-undangan dan kebijakan sektor pembangunan yang ada harus patuh dan tunduk terhadap amanat konstitusi tersebut,” jelasnya.
Tafsir Konstitusional
MK pada beberapa putusannya, lanjut Suhartoyo, telah memberikan tafsir konstitusional yang senada dengan semangat ekonomi hijau untuk memperjuangkan perlindungan lingkungan dan memperkecil disparitas sosial ekonomi masyarakat. Misalnya, Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 yang memperkuat posisi dan kedudukan norma lingkungan di dalam Pasal 28H UUD 1945. Dalam putusan tersebut ditegaskan, terkait dengan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) UUD 1945, negara dan pemerintah harus memanfaatkan sumber-sumber kekayaan dengan tetap memelihara lingkungan sebagaimana mestinya. Pemanfaatan tersebut dilakukan dengan cara mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Contoh lainnya, yakni Putusan Nomor 95/PUU-XII/2014, yang memberikan hak memungut dan memanfaatkan hasil hutan untuk kebutuhan subsistem. Di dalamnya disebutkan bahwa masyarakat adat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan, dibenarkan untuk mengambil manfaat dari hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari dan bukan untuk kepentingan komersil. Berikutnya terkait tentang penegakan hukum di bidang lingkungan hidup, Putusan MK Nomor 15/PUU-XIX/2021 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, telah melakukan perluasan makna penyidik dan memberikan kewenangan PPNS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menangani perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) di bidang kehutanan dan lingkungan hidup.
“Perlu kita cermati, modus-modus kejahatan tindak pidana itu tidak hanya korupsi, narkoba, dan serupanya, tetapi telah bergeser ke tindak pidana yang tak diduga. Di sana justru sangat dipandang aman untuk menyembunyikan adanya pencucian uang dengan modus tidak strategis, maka MK dari Putusan Nomor 15/PUU-XIX/2021 ini justru melirik ini. Di mana penyidik berwenang untuk menyidik tindak pidana pencucian uang, yang hasil tindak pidananya bersumber dari tindak pidana di bidang lingkungan hidup dan kehutanan,” sebut Suhartoyo.
Pada akhir ceramah, Suhartoyo menyatakan apresiasinya atas forum seminar nasional yang dilaksanakan pada hari ini. Sebab, agenda ini dapat menjadi wahana bagi peningkatan pengetahuan, sehingga dapat dijadikan rekomendasi kepada penentu kebijakan negara, termasuk pula para hakim dalam memutus perkara yang terkait perlindungan lingkungan hidup. Oleh karenanya, Suhartoyo melihat bahwa momentum ini dapat digunakan untuk menyusun kajian dan riset yang dapat membantu pembuat kebijakan untuk memasukkan nilai-nilai dan prinsip perlindungan terhadap lingkungan di dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan politik hukumnya. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.