JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pemeriksaan pengujian Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pada Selasa (14/3/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 21/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Gede Eka Rusdi Antara dan Made Adhi Keswara yang keduanya merupakan Dokter Spesialis Bedah. Dalam sidang kedua ini, Viktor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukum menyebutkan hal-hal yang disempurnakan pada permohonan pihaknya di antaranya penambahan satu Pemohon atas nama I Gede Sutawan yang juga berprofesi sebagai dokter. Selain itu, para Pemohon juga melengkapi alasan permohonan dengan menyertakan adanya kata rekomendasi sehingga hal ini dapat memberikan keringanan bagi teradu yang perkaranya dalam masa pemeriksaan oleh MKDKI.
“Adanya ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran terutama terhadap frasa ‘Mengikat dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia’ secara serta-merta mengikat KKI, sehingga KKI tidak dapat mengoreksi hasil dari MKDKI,” sebut Viktor dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Saldi Isra dari Ruang Sidang Panel MK.
Baca juga: Menguji Konstitusionalitas Aturan Proses Pemeriksaan MKDKI
Pada sidang pendahuluan Rabu (1/3/2023) lalu, para Pemohon mengatakan pihaknya menitikberatkan pada legal standing dan nebis in idem. Untuk pasal yang diuji adalah Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran terutama terhadap frasa “Mengikat dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” yang dinilai bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G UUD 1945. Pemohon I dalam menjalankan praktik kedokteran memiliki persoalan yakni dilaporkan MK DKI berdasarkan pengaduan Nomor 7 tahun 2022. Padahal dalam melaksanakan praktik kedokteran operasi terhadap pasien, Pemohon I dan Pemohon II telah menjalankan praktik berdasarkan disiplin keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam menjalankan pemeriksaan di MKDKI, Pemohon I dan Pemohon II mendapatkan proses yang tidak transparan dan tidak berkeadilan serta tidak terdapat pelanggaran atas hak-hak yang dijamin oleh konstitusi yang kerap terjadi selama proses MKDKI. Adapun pelanggaran-pelanggaran atas hak Pemohon I dan Pemohon II dalam memeriksa teradu MKDKI membentuk Majelis Pemeriksa Disiplin disebut MPD yang di dalamnya terdapat unsur Sarjana Hukum, padahal fungsi MPD adalah untuk memeriksa adanya pelanggaran disiplin bagi dokter saat menjalankan praktek kedokteran. Selanjutnya Pemohon I dan Pemohon II didampingi oleh kuasa teradu, namun kuasa pihak teradu tidak dapat melakukan pembelaan ataupun memberikan keterangan menurut kuasa teradu perlu diberikan dalam rangka membela hak teradu sebagai pemberi kuasa atau hanya mencatat saja.
Singkatnya, saksi dan ahli yang dihadirkan oleh Pemohon diperiksa oleh MPD tanpa dihadiri oleh yang bersangkutan, ia tidak mengetahui pertanyaan yang diajukan oleh MPD. Atas hal ini, Pemohon meminta UU Praktik Kedokteran dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (1) sepanjang frasa “Mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” tidak dimaknai bersifat rekomendasi dan mengikat dokter, dokter gigi dan KKI serta tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan perdata atau pidana. Selain itu, para Pemohon juga menilai pasal yang diujikan telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil karena mendudukan KKI sebagai lembaga yang berada di bawah MKDKI karena keputusan MKDKI yang langsung mengikat KKI dalam membuat KKI bagi teradu. Padahal putusan MPD yang memberikan sanksi dituangkan dalam keputusan MKDKI pasal 69 ayat (3) adalah rekomendasi. Untuk itu, Pemohon meminta agar pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana