MALANG, HUMAS MKRI – Pemilihan umum (Pemilu) adalah mekanisme konstitusional bagi rakyat untuk melakukan suksesi kepemimpinan nasional secara periodik. Mekanisme pemilu merupakan syarat mutlak bagi sebuah negara, yang menyatakan dirinya sebagai sebuah negara demokrasi. Tanpa pemilu, maka tidak ada demokrasi, dan tanpa demokrasi, maka tidak ada kedaulatan rakyat dalam proses bernegara. Demikian disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dalam Kegiatan Seminar bertajuk “Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024: Potensi Sengketa Dan Tantangannya”, pada Jum’at (10/3/2023) di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Jawa Timur.
“Oleh karena itulah, mengapa proses dalam pemilu dikatakan sebagai pesta demokrasi, karena di dalam proses pemilulah, rakyat didudukkan pada tempat yang mulia, untuk menentukan nasib perjalanan bangsa, dalam rangka memilih pemimpinnya di lembaga eksekutif, dan para wakilnya di lembaga legislatif,” ujar Anwar di hadapan civitas akademika Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Anwar yang hadir secara langsung menyatakan, Pemilu Serentak Tahun 2019 begitu menguras perhatian, sumber daya, dan energi yang besar. Ada pihak yang menyalahkan perubahan sistem pemilu dari yang semula terpisah antara pileg dan pilpres, namun ada pula yang menyatakan keserentakan pemilu merupakan bagian dari konsekuensi dari sistem presidensil yang dianut oleh konstitusi. Terlepas dari adanya perbedaan pandangan tersebut, MK telah berikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk menuntaskan amanah konstitusionalnya, yaitu memeriksa dan memutus perkara PHPU dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.
Kemudian, Anwar juga menerangkan transparansi sistem peradilan yang dilakukan oleh MK. Ia mengatakan, transparansi sistem peradilan di MK dilakukan dengan pemanfaatan teknologi informasi. Seperti persidangan yang disiarkan secara live streaming, penjadwalan sidang yang selalu diperbarui via laman MK, risalah, dan audio sidang yang selalu diunggah, serta pemuatan putusan pada laman MK, pascapembacaan putusan selesai dilaksanakan. Semua hal itu, menurutnya, merupakan bentuk transparansi yang selalu dipraktikkan serta dikembangkan, sebagai bentuk pertanggungjawaban kinerja MK kepada masyarakat.
“Dampak positif dari dilakukannya transparansi dalam proses persidangan adalah, fakta-fakta objektif di dalam persidangan terungkap dan terekam dengan baik, serta tersampaikan secara utuh kepada masyarakat. Hal ini berarti bahwa, tidaklah mungkin bagi MK untuk memutus diluar dari fakta-fakta objektif tersebut. Atas kinerja MK di dalam penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2019, MK menerima 3 anugerah rekor dunia oleh museum rekor Indonesia (MURI) dengan kategori, yaitu Sidang Nonstop Terlama (sidang maraton selama 20 jam). Kedua, berkas peradilan paling banyak; dan ketiga, proses peradilan paling transparan. Penghargaan yang diterima MK, semakin meneguhkan MK untuk tetap mewujudkan peradilan yang bersih, modern, dan transparan, dalam mempertahankan kinerja dan integritas yang tinggi,” terang Anwar.
Mewujudkan Kedaulatan Rakyat
Selain itu, Anwar juga menjelaskan, pada hakikatnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan sarana konkret bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang duduk dalam jabatan eksekutif di tingkat daerah. Partisipasi masyarakat dalam Pilkada, merupakan wujud kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi. Sesuai dengan namanya, demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan, maka wujud dari pemerintahan rakyat dilakukan melalui pemilihan yang dilakukan langsung oleh rakyat.
Dengan Pilkada, Anwar melanjutkan, rakyat dapat memilih secara langsung calon-calon pemimpin di daerahnya. Oleh karena itu, Pilkada merupakan pendelegasian kedaulatan rakyat kepada seseorang (pasangan calon), guna mewakilinya dalam menyusun kebijakan-kebijakan publik, khususnya di tingkat pemerintahan daerah.
“Untuk itu, agar kemurnian suara rakyat terjaga, maka proses pilkada harus didesain se-transparan mungkin, akuntabel, dan dengan pengawasan yang ketat. Hal ini dilakukan agar keterpilihan para kepala daerah, mendapatkan legitimasi yang kuat karena mendapatkan mandat langsung dari rakyat,” tambah Anwar.
Pilkada Serentak
Secara kuantitatif, Anwar menjelaskan, Pilkada Serentak Tahun 2020 memiliki jumlah yang lebih banyak dari pilkada serentak sebelumnya, yakni berjumlah 270 daerah. Jumlah pilkada tersebut terdiri dari pilkada di 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. Meski hanya selisih 1 daerah saja dengan pilkada serentak tahun 2015, ia menyebut, namun tentunya tantangan penyelenggaraan Pilkada Serentak pada 2020 merupakan tantangan yang lebih berat bagi masyarakat Indonesia untuk melaluinya. Karena akibat dari Pandemi Covid-19, berbagai hal di dalam penyelenggaran pilkada, termasuk penyelesaian perselisihannya, tentu harus disesuaikan pula dengan kondisi pandemi yang sedang melanda.
“Kesuksesan penyelenggaraan kegiatan penyelesaian perselisihan hasil pemilu di MK, tidak semata-mata bergantung kepada MK saja, melainkan juga bergantung kepada berbagai pihak. Dalam kesempatan kali ini, saya menaruh harapan secara khusus kepada kalangan perguruan tinggi/akademis untuk mengawal proses demokrasi yang berlangsung. Karena peran akademisi juga merupakan pilar demokrasi dan pemain kunci bagi terselenggaranya pemilu serentak 2024 yang sukses dan demokratis, untuk sama-sama mengawal proses demokrasi ini agar tetap berada pada track yang benar,” urai Anwar.
Hal serupa juga disampaikan oleh Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang M. Zainuddin dalam sambutannya. Ia menyebut penyelenggaraan seminar dengan tajuk “Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024: Potensi Sengketa Dan Tantangannya” sangat tepat. Hal ini supaya Pemilu Serentak Tahun 2024 dapat berjalan lancar dan memenuhi prinsip luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia).
“Hal ini tentu harus diantisipasi dimulai dari saat ini. Pemilu setiap lima tahun sekali bisa tentu menjadi pengalaman kita bersama. Kita berharap Pemilu (mendatang) akan berjalan dengan baik dan lancar tanpa halangan apapun. Tentu ini menjadi tanggung jawab kita bersama, tidak hanya KPU, Bawaslu, dan juga Mahkamah Konstitusi,” tandas Zainuddin. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.