JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah diminta segera menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ke DPR, agar dapat disahkan menjadi undang-undang (UU) sebelum Pemilihan Umum (Pemilu) 2009.
Jika tidak, nasib RUU itu dikhawatirkan tidak akan disahkan menjadi UU karena DPR lebih terfokus pada persiapan pemilu melalui partainya masing-masing.
Pernyataan tersebut dikemukakan Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Teten Masduki saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk "Memotret Kelambatan Pembahasan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi", di Jakarta, Selasa (22/4).
"Idealnya RUU itu diserahkan ke DPR antara Mei-Juni 2008, sehingga sebelum pemilu sudah selesai dibahas untuk kemudian disahkan menjadi UU. Soalnya, sebentar lagi para politisi DPR akan lebih berkonsentrasi pada pelaksanaan Pemilu 2009," katanya.
Teten menambahkan, jika sampai pada waktu yang ditentukan Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintah belum mensahkan UU tersebut, maka Pengadilan Tipikor dengan sendirinya akan hilang dan kasus korupsi akan diperiksa oleh pengadilan umum.
Teten mengingatkan bahwa MK dalam putusan judicial review atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), memberikan waktu tiga tahun kepada pemerintah untuk membentuk UU Pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus.
Berdasarkan jangka waktu yang ditetapkan dalam putusan MK tersebut, maka pada tahun 2009, UU tersebut harus sudah terbentuk. Tapi jika belum disahkan, lanjut Tetan, solusinya bagi pemerintah adalah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pengadilan Tipikor, agar dalam proses menjadi UU dapat lebih cepat.
Teten mencurigai lambannya pembentukan UU Pengadilan Tipikor tersebut karena adanya kepentingan politik agar UU tersebut tidak direalisasikan. Sebab, kata Teten menambahkan, Komisi III DPR lebih memilih menyelesaikan masalah korupsi di pengadilan biasa.
"Kenapa UU itu ditakuti, karena selama ini Pengadilan Tipikor berprestasi dan belum pernah diintervensi, sehingga para politisi yang diduga terlibat korupsi, menjadi takut," katanya.
Karena itu, Departemen Hukum dan HAM sebagai departemen teknis yang mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU Pengadilan Tipikor dengan DPR, harus berinisiatif mendorong dibahasnya RUU tersebut di DPR.
"Mestinya pada bulan Mei ini sudah harus ada inisiatif dari Depkum dan HAM untuk mendorong pembahasan RUU Pengadilan Tipikor. Kalau tidak segera dilakukan, maka keberadaan pengadilan kasus korupsi akan dilimpahkan ke pengadilan umum," katanya.
Senada dengan Teten, pakar hukum Irman Putrasidin mengatakan, pemerintah (Presiden--Red) bisa menerbitkan Perppu untuk mengantisipasi lambannya pembentukan UU Pengadilan Tipikor.
Menurut Irman, penerbitan Perpu itu sangat diperlukan sebagai dasar keberadaan Pengadilan Tipikor untuk mengadili perkara korupsi. Ia juga mengharapkan agar MK mengingatkan seputar putusan MK yang memberikan tenggat waktu tiga tahun kepada pemerintah dan DPR untuk membuat UU tersebut. (Sugandi)
Sumber www.suarakarya-online.com
Foto www.google.co.id