JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua untuk memeriksa permohonan pengujian Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan Pasal 48 angka 19 dan angka 20 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) yang memuat perubahan atas norma Pasal 33 ayat (5) dan Pasal 33A ayat (1) UU JPH. Rega Felix seorang pemilik usaha kuliner dengan nama dagang “Felix Burger” selaku Pemohon hadir langsung ke Ruang Sidang Pleno MK pada Selasa (7/3/2023).
Agenda sidang perkara Nomor 18/PUU-XXI/2023 kali ini adalah pemeriksaan perbaikan permohonan. Rega Felix (Pemohon) dalam persidangan menyebutkan beberapa perbaikan dari permohonannya terdahulu. Di antaranya dia memperbaiki identitas Pemohon, kewenangan Mahkamah, penulisan pasal, dan penulisan norma pasal yang diuji.
Selanjutnya Pemohon melakukan perubahan signifikan pada bagian alasan atas upaya hukum bagi pelaku usaha melalui pengadilan agama. Pemohon juga memperkuat dalil dengan menambahkan norma batu uji berupa Pasal 28E ayat (2) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 untuk menjelaskan mengapa upaya sengketa halal harus dilakukan oleh pengadilan agama.
“Pemohon juga menambahkan contoh-contoh terkait upaya pelabelan halal atas suatu produk dan dalam perkara ini yang menjadi dilema adalah akibat dibentuknya Komite Fatwa Produk Halal yang menjadi ranah kewenangan PTUN dengan wilayah hukum agama yang menjadi ranah pengadilan agama. Pemohon berasumsi dengan memperluas kewenangan pengadilan agama untuk menyelesaikan sengketa halal akan lebih mudah dibandingkan dengan memperluas kewenangan PTUN. Hal ini dikarenakan hakim pengadilan agama terbiasa dengan hukum Islam maupun kitab fikih. Jika tetap ingin menjadi kewenangan PTUN, maka harus dipersiapkan SDM dalam jumlah yang besar dan menguasai hukum Islam,“ sampai Rega dalam sidang panel hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Baca juga:
Upaya Hukum terhadap Fatwa Produk Halal
Pada sidang pendahuluan Rabu (22/2/2023) lalu, Rega menceritakan dirinya memiliki usaha kuliner berupa burger dan hotdog yang merupakan produk panganan dari masyarakat Barat. Banyak dari konsumen yang mempertanyakan unsur kehalalan dari produk yang dijualnya. Atas hal ini, ia pun berniat mengajukan sertifikasi halal. Namun, saat membaca Halal Assurance System 23000 (HAS 23000), salah satu poin syarat untuk mendapatkan sertifikat halal adalah “Merk/nama produk tidak boleh menggunakan nama yang mengarah pada sesuatu yang diharamkan atau ibadah yang tidak sesuai dengan syariah Islam”.
Menurut Pemohon, terhadap hal yang bersifat subjektif yang dapat diperdebatkan ini tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan fatwa tidak halal sebagaimana dimaksud pasal tersebut. Oleh karena itu, dapat saja pula nanti akan ada standar ganda terhadap pemaknaan suatu kata/nama yang bersifat halal atau haram dari suatu produk. Sehingga mungkin saja masing-masing fatwa memberikan tarsir yang berbeda-beda terhadap suatu kata/nama. Terlebih lagi sejak Perppu Cipta Kerja menyebutkan adanya lembaga baru yakni Komite Fatwa Produk Halal yang berbeda dari MUI yang melalui keputusan fatwa halal yang dikeluarkannya telah memenuhi unsur sebagai Keputusan TUN.
Dalam petitum, Rega meminta MK menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU JPH bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “terhadap Fatwa Halal yang menyatakan produk tidak halal dapat diajukan upaya hukum melalui Pengadilan Agama.” Menyatakan Pasal 48 angka 19 Perppu Cipta Kerja yang memuat perubahan atas norma Pasal 33 ayat (5) UU JPH bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “terhadap Keputusan Komite Fatwa Produk Halal dapat diajukan upaya hukum melalui Pengadilan Agama.”
Selanjutnya Menyatakan Pasal 48 angka 20 Perppu Cipta Kerja yang memuat perubahan atas norma Pasal 33A ayat (1) UU JPH bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “terhadap Keputusan Komite Fatwa Produk Halal dapat diajukan upaya hukum melalui Pengadilan Agama.”
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.