JAKARTA (Suara Karya): Penyederhanaan jumlah partai politik (parpol) mutlak dibutuhkan dalam sistem presidensial di Indonesia. Sebab, sistem presidensial mensyaratkan jumlah partai yang ramping. Apalagi, sistem ini lazimnya hanya mengenal dua kekuatan di parlemen, oposisi dan pendukung pemerintah.
Dengan kecenderungan itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Depkum dan HAM serta parpol peserta pemilu harus memiliki semangat menyederhanakan jumlah parpol sehingga optimisme bangsa untuk menyehatkan sistem presidensial lewat pemilu bisa diwujudkan.
Hal ini dikemukakan pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, Ketua Fraksi Partai Demokrat Syarif Hassan, dan Wakil Ketua Umum PPP Chozin Chumaedy, di Jakarta, Selasa (22/4).
Arbi Sanit mengatakan, penyederhanaan parpol di Indonesia adalah hal mutlak. Ini diperlukan untuk membangun sistem politik (pemilu) yang efektif dan produktif. Bertambahnya jumlah parpol, kalau tidak dibatasi, dikhawatirkan akan membuat sistem politik tidak efektif dan tidak produktif.
Dari sudut demokrasi, upaya melakukan penyederhanaan parpol menjadi sulit karena hak dan kewajiban warga negara mendapat jaminan konstitusi yang sangat kuat.
"Karena itu, memang tidak mudah melakukan penyederhanaan jumlah parpol. Tapi, perlu ada komitmen yang kuat ke arah itu kalau ingin sistem politik kita stabil. Di sinilah peran KPU, Depkum dan HAM serta para elite parpol sendiri untuk memiliki kesadaran menyesuaikan diri dalam sistem presidensial," ujarnya.
Untuk mendukung penyempurnaan syarat pembentukan parpol, penekanannya bukan pada kebebasan warga negara mendirikan parpol, melainkan harus pula mementingkan pemenuhan persyaratan lain. Antara lain, parpol itu harus bersifat terbuka dan punya karakter nasionalis yang kuat serta adanya modal finansial yang memberi jaminan bagi kelangsungan hidup partai politik yang bersangkutan.
Karena itu, rasionalisasi jumlah partai peserta pemilu harus dilaksanakan melalui pemberlakuan electoral threshold (ET) dan parliamentary threshold (PT) seperti yang diatur dalam UU Partai Politik dan UU Pemilu.
"Di semua negara maju, ET diterapkan sehingga tidak semua parpol bisa ikut pemilu dan tidak semua parpol bisa mencalonkan kadernya menjadi presiden maupun wapres. Karena itu, batasan perolehan suara pada setiap pemilu perlu dinaikkan sehingga bisa tercipta penyederhanaan jumlah parpol," katanya.
Partai-partai kecil yang tidak lolos ET dan PT bisa melakukan aliansi atau koalisi. Jadi, tidak benar kalau ET dan PT itu bisa membunuh parpol kecil.
Menurut Syarif Hassan, penerapan ET dan PT merupakan langkah demokratis untuk menciptakan penyederhanaan sistem partai, dari multipartai sekarang menjadi dwipartai.
Dengan penyederhanaan jumlah partai, sistem pemerintahan presidensial akan lebih efektif dan akan lebih mempunyai posisi kuat di DPR.
"Tidak seperti sekarang, wakil-wakil dari parpol terus berusaha mengganggu Presiden seperti dengan interpelasi," kata Syarif Hassan.
Dia menambahkan, pada prinsipnya, penyederhanaan parpol bukan mengurangi jumlah parpol, melainkan sebagai upaya meningkatkan kualitas parpol yang ada. Ini sesuai dengan UUD 1945 yang memberi kebebasan berserikat dan berkumpul bagi seluruh rakyat Indonesia. Tentunya, demokrasi tidak bisa berkembang baik tanpa adanya parpol.
Di negara yang sudah demokratis sistem politiknya, ada aturan untuk mekanisme batasan perolehan ET dan PT. Aturan ini bukanlah untuk membatasi partisipasi politik rakyat, melainkan meningkatkan kualitas sistem politik itu.
"Saya setuju kalau ET secara bertahap dinaikkan sehingga pemilu tidak diikuti oleh banyak parpol. Dengan demikian, presiden dan wapres yang terpilih bisa mendapatkan dukungan yang signifikan di parlemen," kata Syarif Hassan.
Chozin menambahkan, kenaikan angka persentase ET itu diharapkan tidak mempersulit lahirnya partai politik di Indonesia. Pasalnya, pendirian parpol merupakan hak politik dan demokrasi bagi rakyat. Namun, untuk pemilu, keberadaan parpol tersebut diperketat dengan alasan agar masyarakat fokus pada pilihan calon wakil politiknya. "PPP toleran terhadap pendirian parpol, namun perlu seleksi yang ketat untuk mengikuti pemilu," katanya.
Arbi Sanit dan Syarif Hassan berpendapat, terlalu banyak parpol telah membuat pemerintah kadang sulit mengambil keputusan. Akibatnya, pemerintahan menjadi kurang efektif. "Jadi, sistem kepartaian kita memang perlu disederhanakan," kata Arbi lagi.
Selama penyederhanaan parpol ini memakai cara demokratis, seperti lewat pemilu yang jujur dan adil, kata Syarif Hassan, penyederhanaan itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Mengutip sebuah penelitian, Arbi Sanit menunjukkan, di tahun 1993, dari 31 negara di dunia yang stabil dengan sistem presidensial, tidak ada yang memakai sistem multipartai. (Victor AS/M Kardeni)
Sumber www.suarakarya-online.com
Foto www.suarakarya-online.com