PALEMBANG, HUMAS MKRI – Meski Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) sudah menjelang usia ke-20 tahun sebagai lembaga peradilan konstitusi di Indonesia, masih banyak dari masyarakat yang belum mengenal dengan baik dan memahami tugasnya. Sejatinya, lahirnya MK merupakan wujud dari perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Pada 2003, Indonesia menjadi negara ke-77 yang mengadopsi MK dalam sistem ketatanegaraannya. Demikian disampaikan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam kuliah umum yang digelar Universitas PGRI Palembang (UPGRIP) pada Jumat (3/3/2023) di Aula Aidil, UPGRIP, Palembang. Dalam kegiatan bertema “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia” ini, Wahidduddin mengajak para mahasiswa dan civitas akademika UPGRIP untuk mengenal lebih dekat MK.
Secara umum, pembentukan MK dilatarbelakangi oleh beberapa hal, di antaranya konsekuensi dari paham konstitusionalisme, diperlukannya check and balances antarlembaga negara, dan dibutuhkannya perlindungan hak asasi manusia yang termuat dalam konstitusi. Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bersama dengan Mahkamah Agung (MA), MK diberi beberapa kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yakni untuk menguji undang‐undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan MK wajib memutus pendapat DPR jika ada dugaan pelanggaran oleh Presiden/Wakil Presiden menurut UUD 1945.
“Karena semakin dekatnya pemilihan umum serentak yang diagendakan pada 2024, saya ingin mengenalkan secara lebih mendetail tentang kewenangan MK dalam hal menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) dan kepala daerah (pilkada),” sebut Wahiduddin.
Wahiduddin menyebutkan pada 2024 mendatang, Indonesia akan menghadapi gelaran pemilu dengan model baru berupa dua pemilihan yang dirangkai menjadi serentak. Pertama, pemilu serentak untuk memilih Presiden dan anggota legislatif, yaitu caleg DPD, DPR, DPRD Provinisi/Kabupaten/Kota. Kedua, barulah pemilu serentak untuk memilih kepala daerah. Jadi, meski terpisah, namun tetap merupakan satu rangkaian. Sehubungan dengan hal ini, sambung Wahiduddin, sejak awal, MK diberi kewenangan untuk mengadili sengketa pemilu presiden dan pemilu anggota legislatif ini. Tugas ini dapat dilihat pada keberadaan MK pada Pemilu 2004 dengan memeriksa sengketa pemilu presiden yang diajukan oleh pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid.
Selain kewenangan tersebut, sambung Wahiduddin, MK juga berwenang mengadili perkara sengketa Pilkada. Pengembanan kewenangan MK ini, menurut Wahiduddin, memiliki kisah perjalanannya tersendiri. Singkatnya, dimulai dari ketika lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, yang di dalamnya memperluas lingkup pengertian pemilu sebagaimana termuat pada Pasal 22E UUD 1945. Pilkada dinyatakan sebagai bagian dari rezim pemilu. Kemudian pada 2022 lalu, Putusan MK memutus untuk menghapuskan gagasan untuk membentuk badan peradilan khusus, dengan alasan pemilu sudah di depan mata, tetapi pembentuk undang-undang tidak kunjung mendesain badan peradilan khusus sesuai amanat undang-undang. Konsekuensinya, Perselisihan Hasil Pilkada 2024 nanti dan tahun-tahun berikutnya menjadi kewenangan dari MK untuk menyelesaikannya. Terhadap hal ini, ia mengatakan MK memegang peran penting dalam menjadi instrumen demokrasi yang dibutuhkan oleh segenap warga negara untuk melindungi hak‐hak konstitusionalnya.
“Oleh karena itu, MK memberikan kesempatan yang seluas‐luasnya bagi seluruh masyarakat untuk memanfaatkan secara optimal keberadaan MK dalam sistem ketatanegaraan. Dengan cara melakukan pengembangan proses beracara ke arah yang lebih baik, yang dilangsungkan secara modern, cepat, sederhana dan tanpa biaya, yang berhubungan dengan manajemen persidangan, waktu beperkara dan prosedur yang sederhana dalam pengajuan dan pemeriksaan permohonan,” kata Wahiduddin pada penghujung paparannya. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.