JAKARTA, HUMAS MKRI - Sebanyak 35 Mahasiswa Universitas Pancasila (UP) yang bekerja sama dengan Universiti Malaya mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK), pada Rabu (1/3/2023) di Aula Gedung I MK. Kunjungan tersebut diterima oleh Asisten Ahli Hakim Konstitusi (ASLI), Luthfi Widagdo Eddyono.
Luthfi dalam paparannya menyampaikan materi “Mahkamah Konstitusi dan Kelembagaan Negara”. Luthfi mengatakan pelaku kekuasaan kehakiman terdapat dalam Pasal 24 UUD 1945. Sebelum perubahan Undang-Undang, kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Susunan dan kekuasaan badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
Sedangkan setelah perubahan, sambung Luthfi, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Lebih lanjut Luthfi menjelaskan berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Sejarah Judicial Review
Dikatakan Luthfi, Judicial review adalah mekanisme untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar pertama kali dilakukan oleh Hakim Agung John Marshal di Amerika Serikat. Saat itu, John Marshal menangani perkara antara William Marbury vs James Madison.
Pada prinsipnya, John Marshal ketika itu menyatakan, meskipun tidak ada ketentuan yang memberikan kewenangan kepada dirinya untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, namun dirinya terikat dengan sumpah jabatan sebagai hakim agung yaitu berkewajiban untuk menegakkan konstitusi. Akhirnya, peristiwa ini kemudian menjadi peristiwa penting dalam pengembangan konsep Judicial Review di kemudian hari.
Selanjutnya, adalah Hans Kelsen, ilmuwan dari Austria yang mencetuskan Judicial Review (JR) dan menyatakan perlunya pengadilan khusus (baca: mahkamah konstitusi) yang berwenang untuk melakukan JR. Mengutip pandangan Hans Kelsen, Luthfi menjelaskan, pentingnya keberadaan mahkamah konstitusi adalah untuk menjaga peraturan perundangan-undangan agar tetap sesuai UUD atau konstitusi.
“Agar ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaannya, diperlukan organ yang menguji apakah suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan konstitusi,” ujarnya.
Selain itu, Luthfi juga menyinggung tentang usulan M. Yamin yang ingin memasukkan konsep Judicial Review dalam sistem hukum Indonesia. Namun, ketika itu, usulan tersebut mendapat penolakan dari Soepomo. Akhirnya, usulan Yamin batal disetujui. Akan tetapi, setelah dilakukan amendemen terhadap UUD 1945 pada masa reformasi 1998, konsep Judicial Review atau pengujian UU terhadap UUD disepakati. Pengujian konstitusionalitas UU tersebut dilakukan oleh suatu badan peradilan tersendiri, yakni oleh sebuah MK.
Di samping sejarah MK tersebut, Luthfi juga menjelaskan tentang upaya-upaya MK dalam melaksanakan kewenangannya. Dia juga menjelaskan tentang visi dan misi MK. Visi MK, tuturnya, adalah tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
Ia juga menegaskan, Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa putusan MK bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya pasca putusan itu sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan Kembali (PK).
Usai mendengarkan paparan materi yang disampaikan oleh Luthfi WIdagdo tersebut, para Mahasiswa diajak mengelilingi Pusat Sejarah dan Konstitusi yang terletak pada lantai 5 dan 6 Gedung I MK untuk menjelajahi Pusat Sejarah Konstitusi.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.