JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Selasa (28/2/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 10/PUU-XXI/2023 ini diajukan Andi Redani Suryanata, dkk. Para Pemohon yang terdiri dari 20 orang tersebut merupakan perorangan warga negara Indonesia yang saat ini merupakan mahasiswa yang menguji materiil Pasal 256, Pasal 603, dan Pasal 604 KUHP.
“Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,”ujar Ketua MK Anwar Usman saat pengucapan putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangan yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, MK menyampaikan para pemohon telah dapat menjelaskan adanya hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya, dikaitkan dengan syarat kedua yaitu adanya anggapan bahwa hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28 dan Pasal 28D ayat (1) tersebut dirugikan oleh berlakunya undang-undang dalam hal ini UU 1/2023, menurut Mahkamah terkait dengan hal tersebut secara tegas diperlukan syarat yang bersifat imperatif yaitu anggapan kerugian konstitusional yang dimiliki oleh para pemohon dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujiannya.
“Oleh karena itu, apabila hal ini dikaitkan dengan fakta hukum yang ada dalam persidangan, hal yang dialami oleh para pemohon telah ternyata hak konstitusional para pemohon tersebut belum ada kaitannya dengan berlakunya norma undang-undang, in casu UU 1/2023. Dengan kata lain pasal-pasal yang ada dalam UU 1/2023 yang diajukan pengujian oleh para pemohon terdapat dalam UU yang belum berlaku dan dengan sendirinya belum mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2022,” ujar Suhartoyo saat membacakan pertimbangan hukum MK.
Dengan demikian, sambungnya, KUHP belum berdampak terhadap adanya anggapan kerugian konstitusional baik secara potensial apalagi secara aktual kepada para pemohon. Yang dimaksud anggapan kerugian konstitusional yang bersifat potensial adalah kerugian yang belum pernah secara konkrit/riil dialami, namun suatu saat berpotensi alami karena disebabkan berlakunya suatu norma undang-undang. Oleh karena itu, baik anggapan kerugian konstitusional yang bersifat aktual maupun potensial keduanya tetap bertumpu pada telah adanya norma undang-undang yang berlaku.
Mahkamah menyebut para pemohon telah terbukti tidak memenuhi persyaratan adanya anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya undang-undang. Sehingga terkait dengan syarat selebihnya yaitu adanya anggapan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan adanya hubungan sebab akibat yang ditimbulkan antara hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan sendirinya tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan.
Berkaitan dengan uraian kedudukan hukum para pemohon yang mengaitkan dengan putusan MK Nomor 110/PUU-X/2012, secara mutatis mutandis berlaku pada putusan ini. Oleh karena itu, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut MK berkesimpulan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum mengajukan permohonan ini. Seandainya pun para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini, quod non dan Mahkamah dapat masuk untuk mempertimbangkan pokok permohonan, namun oleh karena ketentuan Pasal 256, Pasal 603 dan Pasal 604 UU 1/2023 merupakan norma yang belum berlaku dan belum memiliki kekuatan hukum mengikat. Mahkamah akan berpendirian bahwa permohonan para pemohon adalah permohonan yang prematur.
Meskipun MK berwenang mengadili permohonan ini, namun dikarenakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini, MK tidak mempertimbangkan lebih lanjut.
Pada sidang pendahuluan (7/2) Andi Redani Suryanata yang merupakan salah satu dari pemohon menyampaikan para Pemohon memegang teguh prinsip untuk melawan dan menentang korupsi sebagai ilmu yang tidak terpisahkan dari tataran praktikal mahasiswa. para Pemohon juga berusaha menjauhi perilaku koruptif di tempat kuliah. Para pemohon berpendapat penumpasan korupsi menjadi sia-sia dan terhambat, karena sistem hukum Indonesia sendiri menciptakan pelemahan terhadap pemberantasan korupsi sanksi pidana korupsi yang rendah di dalam KUHP baru.
Selain itu, para Pemohon sebagai mahasiswa juga aktif berdemonstrasi menentang kebijakan bermasalah, termasuk para Pemohon sudah pernah berdemontrasi juga menenatang pasal-pasal bermasalah dalam perkara a quo. Pemohon khawatir apabila ke depannya nanti pasal yang diuji berlaku, maka tidak akan ada lagi yang mau berdemo, dan begitu juga para Pemohon, karena takut dipidanakan dengan pasal yang saat ini sedang diujikan oleh para Pemohon. Sehingga, dimasa depan nanti, para Pemohon dan juga mahasiswa-mahasiswa lainnya, tidak akan bisa lagi berdemo. Untuk itu, Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal yang diuji. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina