JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) tidak dapat diterima. Putusan Nomor 8/PUU-XXI/2023 dibacakan pada Selasa (28/2/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara ini diajukan oleh Trijono Hardjono, Muhammad Afif Syairozi, Salyo Kinasih Bumi, Hendrikus Rara Lunggi, Muhammad Fajar Ar Rozo, Abdul Ghofur, Frederikus Patu yang tergabung dalam Langkah Juang Pemulihan Kedaulatan Rakyat.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang membacakan pertimbangan hukum Mahkamah bahwa para Pemohon tidak menguraikan argumentasi mengenai pertentangan antara Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan Pasal 18 huruf b UU P3 yang dimohonkan dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalma UUD 1945. Para Pemohon lebih fokus menguraikan mengenai kekosongan hukum yang berkaitan dengan kewenangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR). Selain itu, para Pemohon juga tidak menguraikan argumentasi konstitusional yang cukup mengenai pertentangan norma yang diajukan dengan norma dalan UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian.
Lebih lanjut Enny menyebutkan, di samping itu, permintaan para Pemohon yang termaktub dalam Petitum dinilai tidak jelas dan tidak sesuai dengan kelaziman petitum dalam pengujian undang-undang. Sekalipun sudah dinasihati Majelis Panel, masih ditemukan petitum yang kosong. Secara formal, petitum yang ada tersebut tidak sesuai dengan rumusan petitum yang terdapat pada ketentuan Pasal 10 ayat (2) huruf d pada PMK Nomor 2/2021.
“Dengan demikian menurut Mahkamah para Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan Pasal 18 huruf b UU P3. Selain itu, tidak terdapat pula sebab-akibat antara anggapan kerugian hak konstitusional dengan berlakunya Penjelasan Pasal yang dimohonkan dalam pengujian. Oleh karena itu, tidak ada kerahuan bagi Mahkamah untuk menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini,” sebut Enny dalam sidang yang dihadiri para Pemohon secara langsung dari Gedung 1 MK.
Pada sidang terdahulu, para Pemohon mengatakan perjuangan mereka bertujuan ingin memulihkan kedaulatan rakyat di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan kata lain, berkaitan dengan kedudukan MPR tersebut sejauh ini usai amendemen UUD 1945 hanya dijadikan sebagai sebuah Forum Komunikasi antara DPR dan DPD. Selain itu, para Pemohon juga menilai adanya pembatasan pemberlakuan Ketetapan MPR dalam ruang lingkup Penyusunan Program Legislasi Nasional sebagaimana Penjelasan Pasal 18 huruf b UU P3 ini berakibat pada ketidakpastian hukum. Sebab tindakan manipulatif pembentuk undang-undang terhadap pembatasan atas keberlakuan Ketetapan MPR ini, seolah-olah MPR tidak lagi memiliki kewenangan konstitusional dalam memutus sebuah produk hukum.
Para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan sah untuk berlaku sementara Naskah Undang-Undang Dasar yang disusun oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, sebagai Hukum Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia; menyatakan sah berlaku sementara Pemerintahan Negara, DPR, dan DPD; serta Pemerintahan Daerah dan DPRD hasil Pemilu 2019. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Andhini S.F.