JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Pasal 15 ayat (2) huruf (d) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Senin (27/2/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Agenda sidang yaitu pemeriksaan perbaikan permohonan perkara Nomor 13/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Moch Ojat Sudrajat.
Pasal 15 ayat (2) huruf (d) UU Pers menyatakan, “Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.”
Dalam sidang yang digelar secara luring yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, Ojat (Pemohon) memaparkan perbaikan permohonannya. “Dalam perbaikan ini pemohon mencoba mengikuti apa yang diarahkan pada saat persidangan pertama dari mulai identitas, urutan sebagaimana diatur dalam PMK 2 Tahun 2021, dari mulai kewenangan MK, kedudukan hukum Pemohon, alasan permohonan dan petitum. Mudah-mudahan dengan perbaikan yang sudah diupayakan dapat diterima dan dapat dilanjutkan,” kata Ojat.
Baca juga:
Menguji Konstitusionalitas Kasus Pemberitaan Pers
Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan yang digelar di MK Senin (13/2/2023), Pemohon mendalilkan kerugian hak konstitusionalnya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, terhadap “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” yang dilakukan oleh wartawan dan/atau perusahaan pers yang tidak terdaftar di Dewan Pers dan/atau “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” berupa berita bohong atau hoax, fitnah, dan menghina dan/atau mencemarkan nama baik serta merendahkan harkat dan martabat baik perorangan, badan hukum maupun badan publik dan berita yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
“Pemohon pernah mengalami langsung terkait dengan permasalahan adanya pemberitaan yang beredar yang bersifat mencemarkan nama baik Pemohon. Kemudian ada pemberitaan pers yang berisikan tidak benar dan juga palsu. Akan tetapi setiap permasalahan pemberitaan pers itu penyelesaiannya harus melalui Dewan Pers. Sementara menurut Pemohon, Dewan Pers hanya (menyelesaikan) pemberitaan (dari media) yang didata oleh Dewan Pers. Sedangkan media-media yang tidak terdata di Dewan Pers menurut pendapat kami bukan kewenangan dari Dewan Pers sendiri,” kata Ojat.
Dalam petitum, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers terhadap frasa “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kedudukan hukum mengikat sepanjang dimaknai “semua pemberitaan pers yang mengandung delik pers dan dilakukan oleh perusahaan pers yang tidak terdata di Dewan Pers.”
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.