JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Dua permohonan perkara pengujian UU PDP digabung pemeriksaannya dalam persidangan ini, yaitu perkara Nomor 108/PUU-XX/2022 dan perkara Nomor 110/PUU-XX/2022. Perkara Nomor 108/PUU-XX/2022 diajukan oleh Leonard Siahaan. Sedangkan permohonan Nomor 110/PUU-XX/2022 diajukan oleh Dian Leonaro Benny.
Sedianya, agenda sidang kelima pada siang ini yakni mendengar keterangan ahli yang dihadirkan Presiden/Pemerintah. Ahli dimaksud, Henri Subiakto dan Ahmad M. Ramli.
Namun hingga sidang dimulai, para Pemohon tidak hadir dan tidak pula memberikan informasi terkait ketidakhadiran tersebut. Atas hal ini, Ketua MK Anwar Usman mengatakan agenda sidang hari ini tidak bisa diteruskan karena para Pemohon tidak hadir.
“Pemohon tidak memberitahukan ketidakhadirannya. Kita akan coba berikan kesempatan sekali lagi, nanti apakah hadir atau tidak hadir, maka Mahkamah akan menentukan sikap nantinya. Nanti Ahli yang hadir hari ini untuk memberikan keterangan, nanti bisa menyertakan keterangan tertulis juga. Mahkamah memberi kesempatan sekali lagi dan sidang ditunda hingga Selasa, 21 Maret 2023 pukul 11.00 WIB,” ucap Anwar dalam Sidang Pleno yang dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK pada Senin (27/2/2023).
Baca juga:
Menyoal Keamanan Data Pribadi Bagi Perseorangan dan Usaha Berskala Rumah Tangga
Pemohon Menyoal Data Pribadi Ajukan Perbandingan Norma Uji UU PDP
Melekat Hak Privasi, Data Perseorangan Dikecualikan dalam Pemrosesan Data Pribadi
Pemerintah: UU Perlindungan Data Pribadi Beri Perlindungan Hukum
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 108/PUU-XX/2022 diajukan oleh Leonard Siahaan. Sedangkan permohonan Nomor 110/PUU-XX/2022 diajukan oleh Dian Leonaro Benny.
Pemohon Nomor 108/PUU-XX/2022, Leonard Siahaan berpandangan UU PDP belum memberikan payung hukum bagi pengguna data pribadi khususnya bagi pelaku bisnis e-commerce berskala rumah tangga. Sebab dalam pelaksanaan usaha ini, rentan akan kebocoran data utamanya saat transaksi finansial yang dapat saja dilakukan oleh peretas dengan melakukan cybercrime economy atas insiden kebocoran data. Bahwa pemanfaatan teknologi informasi mengakibatkan data pribadi seseorang mudah untuk dikumpulkan dan dipindahkan dari satu pihak ke pihak lain tanpa sepengetahuan subjek data pribadi sehingga hal ini mengancam hak konstitusional subjek data pribadi. Selain itu, perlindungan data pribadi tergolong pada perlindungan HAM. Dengan demikian pengaturan mengenai data pribadi menjadi manifestasi pengakuan dan perlindungan atas hak dasar manusia. Oleh karena itu, UU PDP tidak menjawab perlindungan terhadap hak subjek data pribadi.
Sementara Pemohon Nomor 110/PUU-XX/2022, Dian Leonaro Benny mengatakan pasal yang diajukan untuk diuji dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Bahwa perlindungan data diperlakukan sebagai bagian dari perlindungan privasi sebagai individu. Menurut Pemohon privasi berkaitan dengan hak yang berdiri sendiri dan tidak bergantung pada hak lain, tetapi hak tersebut akan hilang apabila seseorang mempublikasikan hal-hal yang bersifat pribadi pada masyarakat umum. Dalam pelanggaran privasi terdapat kerugian yang sulit untuk dinilai. Kerugian yang dialami dapat mengganggu kehidupan pribadi sehingga pihak korban wajib mendapatkan kompensasi atas kerugian yang diderita tersebut. Bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU PDP tidak secara terang dan jelas menjelaskan secara pasti dan akurat mengenai yang dimaksud dengan ‘kepentingan pertahanan dan keamanan nasional’. Sehingga pasal a quo berpotensi menjadi pasal yang multitafsir dan bermasalah di kemudian hari dan digunakan sebagai justifikasi untuk mengecualikan hak-hak subjek data pribadi.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur Rosikin.
Humas: Fitri Yuliana.