JAKARTA, HUMAS MKRI - Rega Felix, seorang pemilik usaha kuliner dengan nama dagang “Felix Burger” mengujikan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan Pasal 48 angka 19 dan angka 20 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) yang memuat perubahan atas norma Pasal 33 ayat (5) dan Pasal 33A ayat (1) UU JPH. Sidang perdana untuk memeriksa permohonan Nomor 18/PUU-XXI/2023 yang diajukan Felix, digelar di Mahkamah Konstitusi pada Rabu (22/2/2023). Sidang dilaksanakan oleh panel hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Pasal 34 ayat (2) UU JPH yang berbunyi, “Dalam hal sidang fatwa halal sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat (2) menyatakan produk tidak halal, BPJHP mengembalikan permohonan sertifikat halal kepada pelaku usaha yang disertai dengan alasan.”
Pasal 48 angka 10 Perppu Cipta Kerja, “Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksudkan pada ayat (3) terlampaui, penetapan kehalalan produk dilakukan oleh komite fatwa produk halal berdasarkan ketentuan fatwa halal.”
Pasal 48 angka 20 Perppu Cipta Kerja, ”Dalam hal permohonan sertifikasi halal dilakukan oleh pelaku usaha mikro dan kecil melalui pernyataan halal, penetapan kehalalan produk dilakukan oleh komite fatwa produk halal berdasarkan ketentuan fatwa halal.”
Dalam penyampaian permohonan di persidangan, Rega menceritakan dirinya memiliki usaha kuliner berupa burger dan hotdog yang merupakan produk panganan dari masyarakat Barat. Banyak dari konsumen yang mempertanyakan unsur kehalalan dari produk yang dijualnya. Atas hal ini, ia pun berniat mengajukan sertifikasi halal. Namun, saat membaca Halal Assurance System 23000 (HAS 23000), salah satu poin syarat untuk mendapatkan sertifikat halal adalah, “Merk/nama produk tidak boleh menggunakan nama yang mengarah pada sesuatu yang diharamkan atau ibadah yang tidak sesuai dengan syariah Islam”.
Menurut Pemohon, terhadap hal yang bersifat subjektif yang dapat diperdebatkan ini tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan fatwa tidak halal sebagaimana dimaksud pasal a quo. Oleh karena itu, dapat saja pula nanti akan ada standar ganda terhadap pemaknaan suatu kata/nama yang bersifat halal atau haram dari suatu produk. Sehingga mungkin saja masing-masing fatwa memberikan tarsir yang berbeda-beda terhadap suatu kata/nama. Terlebih lagi sejak Perppu Cipta Kerja menyebutkan adanya lembaga baru yakni Komite Fatwa Produk Halal yang berbeda dari MUI yang melalui keputusan fatwa halal yang dikeluarkannya telah memenuhi unsur sebagai Keputusan TUN.
“Maka konsep desentralisasi kewenangan dalam Perppu Ciptaker ini justru akan sangat berpotensi menciptakan permasalahan hukum baru. Untuk itu, perlu ada penafsiran yang jelas terhadap lembaga, proses, dan upaya hukum dalam penyelesaian sengketa halal agar dapat memberikan kepastian hukum yang adil bagi pelaku usaha dan masyarakat,” sebut Felix yang juga berprofesi sebagai advokat.
Dalam petitum, Felik meminta MK menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU JPH bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “terhadap Fatwa Halal yang menyatakan produk tidak halal dapat diajukan upaya hukum melalui Pengadilan Agama.” Menyatakan Pasal 48 angka 19 Perppu Cipta Kerja yang memuat perubahan atas norma Pasal 33 ayat (5) UU JPH bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “terhadap Keputusan Komite Fatwa Produk Halal dapat diajukan upaya hukum melalui Pengadilan Agama.” Selanjutnya Menyatakan Pasal 48 angka 20 Perppu Cipta Kerja yang memuat perubahan atas norma Pasal 33A ayat (1) UU JPH bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “terhadap Keputusan Komite Fatwa Produk Halal dapat diajukan upaya hukum melalui Pengadilan Agama.”
Korelasi Norma
Menanggapi permohonan Pemohon ini, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam nasihat Majelis Sidang Panel mengatakan perlu kehati-hatian Pemohon terhadap objek permohonan yang diujikan, mengingat norma tersebut telah melebur ke dalam Perppu Cipta Kerja. Sebab hal ini juga akan sangat berpengaruh pada pokok permohonan. Pada permohonan ini Wahiduddin mencermati bahwa Pemohon mempermasalahkan kewenangan mengeluarkan fatwa yang terdesentralisasi dengan adanya kewenangan MUI tingkat daerah. Namun Pemohon belum memberikan penjelasan terkait hal ini dan lebih banyak menyebutkan tentang penamaan produk-produk yang mengandung unsur tidak halal/haram.
“Sehingga persoalan utamanya justru belum diuraikan. Maka, perlu diperdalam dengan mengelaborasi dengan batu uji, dalil pokok perkara, dan barulah di petitum disebutkan kewenangan fatwa MUI. Koherensinya apa sehingga objek yang diuji ini perlu didukung dengan argumen yang mendukung,” sebut Wahiduddin.
Berikutnya Hakim Konstitusi Saldi Isra memberikan catatan tentang pandangan Pemohon mengenai perluasan kewenangan pengadilan agama dan desentralisasi produk halal. Mengingat adanya anggapan Pemohon atas persepsi yang berbeda dari masing-masing lembaga yang mengeluarkan fatwa atas jaminan produk halal.
“Ini tidak desentralisasi tidak berarti lepas begitu saja, tetapi ada kewenangan MUI untuk melakukan koreksi, maka atas hal ini perlu dipikirkan lagi oleh Pemohon. Berikutnya soal koherensi dan korelasi antara klaim kerugian hak konstitusional dengan alasannya dalam konstitusi. Selanjutnya perlu bagi Pemohon untuk memberi contoh model-model yang diberikan otoritas pada lembaga peradilan untuk lembaga banding, maka soal korelasi normanya belum jelas dengan dasar-dasar pengujiannya,” jelas Saldi.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mencermati permohonan Pemohon mulai dari sistematika yang masih belum tersusun rapi, hierarki dari peraturan dan lembaga yang berwenang dalam perkara ini, kewenangan Mahkamah, dan kerugian konstitusional serta petitum. Kemudian untuk isu hukum yang dipersoalkan, Arief menasihati Pemohon agar memperhatikan pasal yang diujikan dengan UUD 1945 dengan bangunan argumentasi, sehingga Mahkamah menjadi yakin dengan dalil-dalil yang disebutkan Pemohon pada permohonan perkara ini.
Sebelum mengakhiri persidangan, Arief mengatakan Pemohon diberikan waktu selambat-lambatnya hingga Selasa, 7 Maret 2023 pukul 13.30 WIB untuk menyerahkan perbaikan permohonan. Selanjutnya, Kepaniteraan MK akan menjadwalkan sidang kedua dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan Pemohon.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF