JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemerintahan diktator berkuasa di Myanmar pada 1962. Kondisi ini merupakan awal dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap orang-orang yang tinggal di negara Myanmar. Pada 1991 sidang umum PBB untuk pertama kalinya mengeluarkan resolusi bahwa telah terjadi pelanggaran berat HAM di Myanmar. Kurun waktu 1962-2021 ada dua pelapor khusus PBB yang mencatat terdapat pelanggaran HAM berat yang terstruktur dan sistematis yang terjadi di Myanmar.
Demikian disampaikan oleh Antonia Mulvey yang diterjemahkan oleh Juru Bahasa Yuliana Tansil, dalam sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) pada Rabu (22/2/2023) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang untuk Perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Marzuki Darusman (Pemohon I), Muhammad Busyro Muqoddas (Pemohon II), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI/Pemohon III).
Antonia menyampaikan keterangan sebagai saksi Pemohon. Kepada panel hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi enam hakim konstitusi, Antonia menjelaskan jati dirinya sebagai investigator PBB masalah HAM di Myanmar (Juni 2017-Oktober 2018). Ia juga ditunjuk untuk bekerja di kantor PBB untuk masalah pengungsi dan mendukung laporan PBB mengenai situasi Rohingya dan etnis minoritas muslim lainnya di Myanmar pada Juni 2016.
“Sejak saat itu saya menjadi Executive Director of Legal Action Worldwide yang mewakili lebih dari 300 orang-orang Rohingya di berbagai prosedur hukum internasional termasuk International Court of Justice dan juga peradilan internasional Gambia Myanmar. Jadi saya mewakili masyarakat Rohingya,” ujar Antonia.
Operasi Junta Militer
Antonia menyebutkan operasi militer militer di Myanmar. Junta militer menargetkan operasi pada masyarakat sipil tanpa membedakan antara orang-orang yang memiliki senjata dan orang-orang yang tidak bersenjata, termasuk anak-anak. Terdapat laporan soal penembakan, pengeboman dengan target masyarakat sipil, mengusir mereka dari desa-desa dan mengeksekusi mereka. “Mereka juga melakukan kekerasan seksual dan kami melihat laporan PBB dari tahun 90an yang mengatakan bahwa para tentara diberi hak untuk memperkosa dan ini terus menerus berlangsung,” jelasnya.
Kemudian Antonia juga mengatakan, karakteristik pemerintah Myanmar adalah terdapat impunitas total atas pelanggaran HAM, dan ini merupakan kejahatan Internasional. Pada operasi 2016 banyak orang meninggalkan Myanmar menuju Bangladesh. Pada saat itulah dewan HAM PBB membuat resolusi yang membentuk misi pencarian fakta independen PBB.
“Pada September 2017 saya diterjunkan pada minggu pertama September ke perbatasan Bangladesh-Myanmar dimana saya secara langsung melihat desa-desa yang terbakar di sisi Myanmar. Pada saat itulah kita mendengar Aung San Suu Kyi mengatakan bahwa clearance atau operasi pembebasan telah berakhir. Operasi itu masih berlangsung dan saya secara pribadi mewawancari ratusan orang-orang Rohingya terutama perempuan dan anak-anak. Seringkali tentara masuk ke desa dan kemudian mengepung desa dan menembak masyarakat sipil yang tidak bersenjata. Dan kemudian masuk ke desa-desa dan kemudian membakar rumah-rumah warga. Seringkali ada keluarga di rumah-rumah tersebut yang tidak berhasil menyelamatkan diri. Mereka terbakar wajahnya. Pada saat orang-orang berusaha menyelamatkan diri, melarikan diri, mereka ditembaki. Tidak berakhir di situ saja, orang-orang di desa akan dikumpulkan, perempuan dan laki-laki dipisahkan, lalu dibunuh dengan tangan terikat atau mereka akan hilang dan dihilangkan,” ungkap Antonia.
Lebih lanjut Antonia menyebutkan, sejak kudeta tahun 2021 situasi di Myanmar tidak membaik. Terdapat pola pelanggaran HAM berat dan kekerasan-kekerasan yang sudah dimulai 30 tahun lalu yang sudah dikutuk oleh PBB. Terdapat pola penghilangan paksa, pembunuhan di luar hukum, pembunuhan massal, penangkapan, penahanan dengan target yang tidak membedakan warga sipil termasuk anak-anak.
Baca juga:
Menembus Batas Teritorial Pengadilan HAM
AJI Perbaiki Kedudukan Hukum dalam Uji UU Pengadilan HAM
Kuasa Presiden Minta Sidang Uji UU Pengadilan HAM Ditunda
Pandangan DPR Soal Pengadilan Pelaku Pelanggaran HAM Berat
Sidang Uji UU Pengadilan HAM Ditunda
Tanggung Jawab Negara dalam Perkara Pelanggaran HAM Berat
Konstitusi Indonesia Melindungi HAM Setiap Orang Termasuk WNA
Sistem Peradilan Myanmar Pasca Kudeta
Yurisdiksi Universal untuk Mengakhiri Impunitas Pelanggaran HAM Berat
Untuk diketahui, permohonan Nomor 89/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) diajukan oleh Marzuki Darusman, Muhammad Busyro Muqoddas, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Para Pemohon mengujikan frasa “… oleh warga negara Indonesia” dalam Pasal 5 UU Pengadilan HAM. Selengkapnya Pasal 5 UU Pengadilan HAM menyatakan, “Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.”
Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Senin (26/09/2022), para Pemohon menyebutkan frasa “… oleh warga negara Indonesia” dalam Pasal 5 UU Pengadilan HAM menghapus tanggung jawab negara dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Selain itu, frasa tersebut juga menghilangkan prinsip tanggung jawab negara di daerah‑daerah yang pelaku kejahatannya melibatkan negara.
Pelanggaran HAM di Myanmar
Myanmar hingga saat ini masih mengalami situasi politik yang tidak pasti akibat pemberlakuan keadaan darurat oleh pihak militer. Tragedi kemanusiaan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pun terus terjadi di Myanmar.
Dengan adanya pembatasan pada Pasal 5 UU Pengadilan HAM tersebut, maka sulit bagi para korban pelanggaran HAM untuk memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. Sebab menurut para Pemohon, Myanmar tidak menjadi bagian dari International Criminal Court karena tidak turut menandatangani Statuta Roma. Sehingga tidak mungkin negara dengan kekuasaan seperti junta militer mendirikan pengadilan HAM untuk mengadili para pejabatnya yang terlibat pelanggaran HAM. Oleh karena terjadi kekosongan hukum untuk menindaklanjuti pelaku pelanggaran HAM berat di Kawasan Asia tersebut, diperlukan suatu cara untuk melindungi warga negara—tidak saja di Myanmar, tetapi juga di ASEAN secara keseluruhan untuk bisa mengemban hak-hak membela diri secara pribadi.
Untuk itu, dalam petitum para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan frasa “oleh warga Negara Indonesia” yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945,” pinta Feri Amsari selaku kuasa hukum para Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK, Senin (26/09/2022).
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.