JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Pasal 256, Pasal 603, dan Pasal 604 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Senin (20/2/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 10/PUU-XXI/2023 ini diajukan Andi Redani Suryanata, dkk. Para Pemohon yang terdiri dari 20 orang tersebut merupakan perorangan warga negara Indonesia yang saat ini merupakan mahasiswa yang menguji materiil Pasal 256, Pasal 603, dan Pasal 604 KUHP. Adapun sidang kali ini adalah perbaikan permohonan.
Andi Redani Suryanata, dkk., di hadapan Panel Hakim Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan perbaikan permohonan terdapat pada kewenangan MK, kedudukan hukum dan kerugian konstitusi yang dialami, alasan permohonan serta petitum.
“Poin 8 sekalipun penegakkan dan pelaksanaan norma UU a quo baru berlaku tiga tahun setelah diundangkannya seharusnya hal tersebut tidak menghambat MK untuk mengadili dan permohonan a quo karena telah sebagai UU yang dapat menjadi objek pengujian di MK,”ujarnya.
Menurut Andi, hal tersebut dapat disamakan pengujian SPPA. Dalam putusan tersebut terkait dengan kewenangan MK tidak ada satupun pertimbangan MK terhadap keberlakuan dua tahun setelah diundangkannya UU SPPA tersebut yang menghambat MK untuk memeriksa ke arah tersebut. Faktanya, UU SPPA tersebut telah diundangkannya menjadi UU dan merupakan objek perkara pengujian UU terhadap UUD 1945 di MK.
“Dengan demikian, apabila menggunakan penalaran yang sama tanpa terlebih dahulu mempermasalahkan pelaksanaan norma UU maka MK juga harus periksa dan mengadili permohonan a quo. Penundaan keberlakuan tiga tahun adalah untuk sosialisasi KUHP baru kepada seluruh lapisan masyarakat sebagaimana dikemukakan pemerintah dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly di Kompas tujuan sosialisasi tersebut agar implementasi KUHP dapat berjalan sasaran dan tidak terjadi salah tafsir,”terang Andi.
Dengan demikian, sambung Andi, MK sebagai pengawal dan penafsir yang demikian maka MK sebagai pengawal dan penafsir konstitusi memiliki kewajiban untuk memastikan seluruh produk UU tidak bertentangan dengan UUD 1945. Apabila ternyata pasal dalam KUHP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka hal tersebut menjadi dasar untuk disampaikan kepada publik dalam jangka waktu proses sosialisasi tersebut dalam rangka mencegah kesalahan tafsir dan kesalahan penerapan hukum pada waktu norma dalam KUHP berlaku efektif bagi rakyat.
Dikatakan Andi, akan menjadi lucu apabila sosialisasi itu dilakukan dan tiga tahun kemudian ternyata pasal yang disosialisasikan dinyatakan inkonstitusional oleh MK dengan pembatalan hal ini menimbulkan dua dampak yaitu sosialisasi hanya menjadi sarana menghabiskan anggaran karena menjadi sia-sia dan tidak bermakna.
“Yang kedua, proses sosialisasi ini menjadi tidak efektif dan akan membingungkan rakyat apabila norma ini ternyata dalam UU a quo dinyatakan inkonstitusional oleh MK setelah lewat jangka waktu tiga tahun untuk sosialisasi tersebut. Karena itu sejak sekaranglah dimasa sosialisasi ini MK mulai mengadili pasal-pasal di KUHP baru,” tegasnya.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Sejumlah Aturan dalam KUHP Baru
Pada sidang pendahuluan (7/2) Andi Redani Suryanata yang merupakan salah satu dari pemohon menyampaikan para Pemohon memegang teguh prinsip untuk melawan dan menentang korupsi sebagai ilmu yang tidak terpisahkan dari tataran praktikal mahasiswa. para Pemohon juga berusaha menjauhi perilaku koruptif di tempat kuliah. Para pemohon berpendapat penumpasan korupsi menjadi sia-sia dan terhambat, karena sistem hukum Indonesia sendiri menciptakan pelemahan terhadap pemberantasan korupsi sanksi pidana korupsi yang rendah di dalam KUHP baru.
Selain itu, para Pemohon sebagai mahasiswa juga aktif berdemonstrasi menentang kebijakan bermasalah, termasuk para Pemohon sudah pernah berdemontrasi juga menenatang pasal-pasal bermasalah dalam perkara a quo. Pemohon khawatir apabila ke depannya nanti pasal yang diuji berlaku, maka tidak akan ada lagi yang mau berdemo, dan begitu juga para Pemohon, karena takut dipidanakan dengan pasal yang saat ini sedang diujikan oleh para Pemohon. Sehingga, dimasa depan nanti, para Pemohon dan juga mahasiswa-mahasiswa lainnya, tidak akan bisa lagi berdemo. Untuk itu, Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan keberlakuan pasal-pasal yang diuji. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina