JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi pemateri utama dalam Seminar Nasional serta peluncuran Masyarakat Hukum Tata Negara dan Peneliti Pemilu (Mahapatih) pada Rabu (16/2/2023). Kegiatan bertema “Peranan Hukum Tata Negara dan Peneliti Pemilu dalam Menyukseskan Pemilu 2024” ini diselenggarakan oleh Mahapatih dengan diikuti oleh sejumlah pengajar hukum tata negara, mahasiswa, dan pemerhati hukum tata negara dari berbagai daerah di Indonesia secara daring.
Atas diluncurkannya entitas masyarakat ilmiah berbasis kampus bernama Mahapatih ini, Saldi menyambut baik dengan memberikan dorongan agar masyarakat hukum tata negara kian fokus melakukan penelitian soal hukum tata negara dan pemilihan umum (pemilu). Sebagai pribadi yang menekuni dua hal ini, ia melihat kehadiran Mahapatih merupakan suatu tuntutan yang tidak bisa tidak dipenuhi karena pada masa sebelumnya, masyarakat hukum tidak terlalu banyak yang tertarik untuk mengkaji isu-isu pemilu.
“Tidak banyak masyarakat hukum tata negara Indonesia yang fokus sebagai ahli, sehingga kehadiran Mahapatih ini harus disambut secara baik. Kenapa tidak banyak hal ini didalami oleh masyarakat hukum, salah satunya karena perkembangan desain konstitusi Indonesia yang jika dibaca secara saksama dan komprehensif, UUD 1945 yang didesain dan dibentuk pendiri negara di mana dari norma yang ada tidak ditemukan pasal ataupun frasa yang secara eksplisit menyebut tentang pemilu. Di dalamnya tidak diberitahu bagaimana cara memilih anggota DPR, MPR, Presiden dan Wakil presiden dalam konteks pemilihan langsung, kecuali hanya ada ketentuan tentang pemilihan anggota dewan dengan menkanisme suara terbanyak,” jelas Saldi yang memberikan paparan dari Ruang Kerja Hakim Konstitusi di Gedung 1 MK, Jakarta.
Berbicara tetang perkembangan sejarah tata negara di Indonesia, Saldi mencermati perkenalan tentang pemilu justru termuat dalam UUDS 1950. Di dalamnya, sambung Saldi, secara konkret, membahas bagaimana pelaksanaan pemilu yang kemudian dikonkretkan pada pelaksanaan Pemilu 1955, yakni memilih anggota konstituante. Meski pada akhirnya, badan yang dibentuk ini kemudian dibubarkan dan Indonesia kemudian kembali pada UUD 1945 dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno.
Seiring perjalanan kehidupan bangsa Indonesia, pemilu kemudian dilaksanakan kembali pada 1971 setelah Orde Baru berkuasa. Pada masa ini pemilu dilaksanakan lebih karena perintah undang-undang guna dilakukannya pemilihan anggota MPR/DPR. Di dalam norma tersebut ditentukan berapa jumlah anggota MPR/DPR yang dipilih. Hal ini kemudian mampu bertahan hingga 1999 saat lahirnya era reformasi. Dari perjalanan ini, Saldi menilai bahwa sejak diberlakukannya kembali UUD 1945 pada 1959 tersebut hingga kemudian dilakukannya amendemen, terdapat rentang waktu 40 tahun bahwa yang berlaku adalah konstitusi yang di dalamnya tanpa ada muatan atau substansi tentang pemilu.
“Ini jugalah yang menjadi salah satu penyebab kajian hukum tata negara sangat minim di Indonesia. Begitu konstitusi diamendemen dengan empat kali perubahan, baru muncul istilah pemilu. Ketika UUD 1945 diamendemen, maka MPR membuat beberapa haluan dasar dalam membuat konstitusi, misalnya mengubah UUD 1945, tetapi tidak akan mengubah Pembukaan UUD 1945, mempertahankan sistem presidensial, dan melakukan perubahan konstitusi hanya dengan adendum,” terang Saldi.
Seiring berjalannya waktu dan terjadinya perkembangan kehidupan ketatanegaraan, kemudian kita dapat melihat bahwa konstitusi hasil amendemen tersebut memberikan mandat yang jelas bahwa jabatan eksekutif dan legislatif dipilih langsung oleh rakyat. Bahkan, sambung Saldi, pemilihan presiden dan wakil presiden diatur tersendiri dalam beberapa ketentuan serta menyebutkan pula bagaimana proses pemilihannya. Hal yang menggantung dalam konstitusi hanyalah soal pemilihan kepala daerah, yang hanya membunyikan kepala daerah dipilih secara demokratis.
Atas lahirnya UUD 1945 hasil amendemen yang memunculkan berbagai istilah soal pemilu, maka hal inipun dirasakan memberikan dampak bagi masyarakat yang menekuni kajian hukum tata negara. Saldi mendapati mulai banyak tulisan dan kajian mengenai sistem pemerintahan yang dibahas secara mendalam khususnya pula tentang sistem presidensial. Hal ini, menurut Saldi, terjadi karena kostitusi hasil amendemen tersebut membentangkan dan membuka peluang atas hal ini. Untuk itu, kepada masyarakat hukum tata negara yang tergabung dalam Mahapatih, ia berharap akan terdapat sumber daya manusia yang tidak akan habis kontribusinya untuk fokus pada segala hal tentang pemilu.
“Mahapatih ini adalah orang-orang yang ingin mendalami isu-isu pemilu, maka tantangan ke depan yang nyata akan dihadapi bahwa kajian tentang pemilu tidak akan pernah selesai. Di samping itu, jika Mahapatih ini dapat dikatakan sebagai suatu bentuk institusi yang fokus pada soal kepemiluan, maka kita tidak akan kehabisan SDM yang bisa memberikan konstibusi tentang segala hal tentang pemilu, misalnya mau revisi undang-undang, KPU mau ciptakan UU KPU, mau memperbaiki desain pengawasan, maka terdapat berlimpah SDM yang benar-benar fokus dan mendalami hal ini,” harap Saldi.
Menjaga Kualitas Pemilu
Sementara itu, dalam sambutan kegiatan ini, Hendra Sudrajat selaku pendiri dan Direktur Eksekutif Mahapatih mengatakan, keberadaan institusi ini tidak lepas dari cermatan tentang eksistensi hukum tata negara yang dinilai kian strategis dan bahkan disinyalir akan mengisi banyak jabatan publik di Indonesia. Di samping itu, ia mengatakan bahwa Mahapatih lahir setelah mendapati akan pentingnya keberadaan pemilu sebagai bagian dari proses demokrasi di Indonesia. Ketika berbicara ruang lingkup pemilu akan bertalian dengan kualitas demokrasi suatu negara, karena pemilu tak hanya menyoal kuantitas dari penyelenggaraan atau keserentakannya, tetapi juga kualitas dari pemilu berjalan secara konstitusional di Indonesia.
“Nama Mahapatih dipilih terinspirasi dari narasi kenusantaraan, dari berbagai penelitian yang dilakukan dari pelosok negeri maka didapati bahwa di Nusantara ini banyak ternyata konstitusi di era kenusantaraan yang mengandung nilai kearifan sejarah. Untuk itu, pendirian Mahapatih ini juga guna memperkaya khasanah literasi hukum dan pemilu di Indonesia,” kata Hendra yang mendapatkan penghargaan MURI sebagai doktor ilmu hukum tata negara termuda pada 2011 lalu. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.