JAKARTA, HUMAS MKRI – Disahkan pada 30 Desember 2022 silam, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) diuji secara formil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sejumlah 13 serikat pekerja tercatat sebagai Pemohon Nomor 14/PUU-XXI/2023 yang mendalilkan Perppu Cipta Kerja cacat secara hukum karena tidak memenuhi syarat pembentukan peraturan perundang-undangan. Sidang perdana perkara tersebut dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Selasa (14/2/2023).
Adapun serikat pekerja yang dimaksud yakni Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (Pemohon I), Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehtan KSPSI (Pemohon II), Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan KSPSI (Pemohon III), Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik, dan Mesin SPSI (Pemohon IV), Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi KSPSI (Pemohon V), Federasi Serikat Pekerja Listrik Tanah Air (Pelita) Mandiri Kalimantan Barat (Pemohon VI), Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan (Pemohon VII), Federasi Serikat Pekerja Rakyat Indonesia (Pemohon VIII), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (Pemohon IX), Konfederasi Buruh Merdeka Indonesia (Pemohon X), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Pemohon XI), Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (Pemohon XII), Serikat Buruh Sejahtera Independen ’92 (Pemohon XIII).
Muhamad Raziv Barokah selaku kuasa hukum menyatakan Perppu Cipta Kerja dinilai tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 22A UUD 1945. Dalam pokok permohonan, para Pemohon menyatakan Perppu Cipta Kerja yang ditetapkan dan diundangkan pada 30 Desember 2022 oleh Presiden Joko Widodo. Perppu tersebut disinyalir menghidupkan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. UU Cipta Kerja sebelumnya menerapkan konsep omnibus law yang terbagi atas sebelas kluster, di antaranya enyederhanaan perizinan tanah; persyaratan investasi; ketenagakerjaan; kemudahan dan perlindungan UMKM; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; administrasi pemerintahan; pengenaan sanksi; pengendalian tanah; kemudahan proyek pemerintah; dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Sementara dalam Perppu Cipta Kerja terdapat sebelas kluster yang merupakan penggabungan dari 78 undang-undang, di antaranya Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie); Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan; dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1973 tentang Ketentuan Umum Perpajakan; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air; hingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.
“Pada intinya proses pembentukannya (Perppu Cipta Kerja) yang tidak memenuhi ketentuan hal ihwal kegentingan yang memaksa berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, karena terdapat pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan secara terang benderang dan secara nyata diketahui oleh publik, bahkan selain cacat formil juga bermasalah secara materiil,” jelas Raziv dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan M.P Sitompul dan Daniel Yusmic P. Foekh sebagai anggota Majelis Sidang Panel.
Selanjutnya, Caisa Aamuliadiga yang juga merupakan kuasa hukum para Pemohon mengatakan para Pemohon tidak bermaksud menyampaikan Presiden tidak dapat menerbitkan Perppu untuk melaksanakan Putusan MK. Apabila terjadi kegentingan yang serius dan nyata, serta untuk kepentingan bangsa dan menyelamatkan negara, maka Perppu yang dibuat untuk menghormati putusan Mahkamah Konstitusi dapat saja dikeluarkan.
“Maka tidak menghormati putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah preseden buruk yang dilakukan oleh Presiden dan memberikan contoh jika putusan Mahkamah Konstitusi dapat tidak dihormati. Jika dibiarkan, maka preseden buruk tersebut akan dapat terulang kembali, yakni dengan menggenting-gentingkan situasi negara, tanpa maksud untuk menyelamatkan bangsa dan negara, seorang Presiden dapat menerbitkan Perppu yang akan menggugurkan putusan Mahkamah Konstitusi,” sebut Caisa yang menghadiri persidangan secara langsung dari Gedung 1 MK.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim menyatakan Perppu Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945. Kemudian, Pemohon juga menyatakan Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Menyatakan ketentuan norma dalam Undang-Undang yang telah diubah, dihapus, dan/atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja berlaku kembali,” tandas Casia.
Kedudukan Hukum Pemohon
Terhadap permohonan ini, Hakim Konstitusi Manahan mempertanyakan kedudukan hukum para Pemohon yang terdiri atas berbagai serikat pekerja untuk menunjukkan anggaran dasar rumah tangga organisasi yang menunjukkan keberadaan pihak yang dapat mewakilkan pihaknya di dalam dan luar pengadilan. Berikutnya, Manahan juga menyebutkan perlu pula para Pemohon untuk menguraikan legal standing khususnya untuk uji formiil dengan adanya penjelasan mengenai pertautan langsung dengan norma yang diujikan. “Pengujian formil terkait dengan tenggang waktu, maka di sini belum ada disebutkan. Jadi, ini dikemukakan pada bagian kewenangan Mahkamah,” jelas Manahan.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel memberikan nasihat mengenai waktu pengajuan untuk uji formil, yakni 45 hari sejak norma diundangkan. Untuk itu, para Pemohon perlu memperhatikan agar tidak melebihi batas waktu pengujian uji formil. Berikutnya, Daniel juga meminta agar para Pemohon menjelaskan inkonstitusional dari Perppu yang diujikan ini.
Berikutnya Hakim Konstitusi Wahiduddin mencermati tentang kedudukan hukum para Pemohon yang lebih banyak menerangkan tentang isu dan kegelisahan dari norma yang diuji. Sementara pada permohonan ini yang diinginkan adalah uji formil. “Jadi, perhatikan betul aspek krusial dari pembuatan norm aini seperti apa, bukan pada isu yang melingkupinya. Apakah dalam penyusunan Perppu ini melanggar hak-hak para Pemohon. Hak apa saja itu? Perlu dijelaskan ini dengan baik,” jelas Wahiduddin.
Sebelum mengakhiri sidang, Wahiduddin menyebutkan naskah perbaikan permohonan para Pemohon ini diharapkan diterima Kepaniteraan MK selambat-lambatnya hingga Senin, 27 Februari 2023 pukul 13.30 WIB. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.