BOGOR, HUMAS MKRI – Sistem penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) yang dimiliki Indonesia saat sedikit banyak dipengaruhi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terutama melalui mekanisme pengujian undang-undang (PUU). Demikian disampaikan oleh Asisten Ahli Hakim Konstitusi Pan M. Faiz yang membuka hari kedua Bimbingan Teknis Hukum Acara Perselisihan Hasil Umum Tahun 2024 bagi Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra) yang berlangsung pada Selasa (14/2/2023) di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor.
Lebih lanjut Faiz mengungkapkan, bahwa banyak pengujian UU Pemilu yang dinamikanya berpengaruh dalam sistem penyelenggaraan pemilu. Ia memberikan beberapa contoh perkara yang berpengaruh langsung pada sistem penyelenggaraan pemilu, misal terbaru pengujian mengenai aturan sistem proporsional pemilu yang diajukan oleh beberapa kader parpol.
“Semisal banyaknya pengujian undang-undang tentang aturan sistem proporsional terbuka berpengaruh pada kedudukan parpol dan penentuan caleg-caleg. Jadi, pengujian undang-undang dapat berpengaruh juga pada penyelenggaraan pemilu nantinya,” imbuh Faiz di hadapan sejumlah 151 orang peserta yang terdiri dari Pengurus dan Anggota Gerindra.
Dinamika PHPU
Sedangkan mengenai kewenangan MK dalam memutus Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), Faiz mengungkapkan MK dibatasi oleh waktu, yakni 14 hari kerja untuk menyelesaikan PHP Pilpres dan 30 hari untuk menyelesaikan PHP Anggota Legislatif (DPR, DPRD, dan DPD). Dalam kesempatan tersebut, Faiz mengingatkan bahwa kewenangan MK dalam PHPU hanya terkait dengan perselisihan hasil suara. Meskipun begitu, ia membuka kemungkinan pelanggaran-pelanggaran lain dapat diselesaikan di MK, tidak hanya terkait perselisihan hasil suara saja yang berupa angka.
“Jika terjadi pelanggaran etik, maka bisa diselesaikan di DKPP. Sementara mengenai pidana pemilu dapat diajukan ke Gakkumdu dan barulah jika ada sengketa mengenai hasil pemilu dapat dibawa ke MK. Kemudian pertanyaannya, jika terkait pelanggaran lain, apakah bisa dibawa ke MK? Maka, jawabannya tergantung apakah pelanggaran tersebut sudah pernah diselesaikan oleh Bawaslu dan lainnya atau tidak,” ungkap Asisten Ahli Hakim Konstitusi Saldi Isra tersebut.
Terkait pelanggaran-pelanggaran yang mungkin dipertimbangkan MK, Faiz menegaskan bahwa pelanggaran terstruktur, masif, dan sistematis (TSM) yang dapat mempengaruhi hasil suara dapat menjadi pertimbangan bagi Majelis Hakim Konstitusi. Semisal ada politik uang (money politic), ketidaknetralan ASN, kesalahan rekapitulasi suara, intimidasi secara fisik, atau pelanggaran TSM lainnya. “Masif berarti menyeluruh dan meluas serta beberapa bisa dibuktikan di MK. Tak hanya itu, pelnggaran juga harus signifikan sehingga mempengaruhi jumlah suara,” ucapnya.
Dalam sesi tanya jawab, Mustakim dari DPD Partai Gerindra Provinsi Maluku Utara mempertanyakan mengenai Putusan MK terkait pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Menurutnya, Pemerintah melakukan pelanggaran dengan mengabaikan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan justru mengeluarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Menjawab pertanyaan tersebut, Faiz menguraikan bahwa dalam pengujian undang-undang di MK terbagi menjadi dua, yakni pengujian formil dan pengujian materiil. Pengujian yang sering diajukan ke MK adalah pengujian terhadap pasal, ayat, lampiran, atau penjelasan dalam sebuah undang-undang atau dikenal dengan pengujian materiil.
“Namun sebaliknya jika menguji proses pembentukan, maka pengujian formil. Dalam pengujian UU Cipta Kerja, keduanya diajukan (untuk diuji), maka MK menguji formil dulu. Karena dari formil atau proses pembentukannya, maka UU sudah bisa dinyatakan cacat. Dan memang Putusan MK tentang UU Cipta Kerja menjadi putusan pertama pengujian formil yang diputus inkonstitusional bersyarat. Inkonstitusional bersyarat berarti dalam pelaksanaan UU harus mengikuti pertimbangan MK, jika tidak mengikuti Putusan MK, maka UU tersebut inkonstitusional,” jawab Faiz.
Sedangkan mengenai Pemerintah tidak menjalankan Putusan MK, Faiz menyebut masih banyak cara yang bisa ditempuh. Salah satunya melalui pengujian undang-undang ke MK. Ia mengungkap terdapat beberapa permohonan masuk ke MK menguji Perpu 2/2022 tersebut dari beberapa serikat pekerja.
“Tidak apa-apa diajukan ke MK. Biasanya di tengah persidangan, nanti DPR akan mengesahkan perpu menjadi undang-undang, maka permohonan akan gugur karena objek permohonannya hilang. Apakah sudah tidak ada jalan lagi? Masih ada dengan menguji UU yang disahkan tersebut,” tandas Faiz.
Baca juga: MK Gelar Bimtek Hukum Acara Perkara PHPU 2024 Bagi Partai Gerindra
Batas Waktu
Sementara itu, Panitera Muda 3 Wiryanto menjelaskan mengenai 18 tahapan penanganan perkara PHPU Anggota DPR dan DPRD Tahun 2024. Lebih lanjut, ia mengatakan sesuai dengan Peraturan KPU, maka pengumuman hasil pemungutan suara Pemilu Serentak Tahun 2024 akan diumumkan pada 15 Februari – 20 Maret 2024. “Maka, MK sudah bersiap sejak tanggal 20 Maret 2024 untuk menerima permohonan sesuai batas waktu yang diamanatkan UU, yakni 3 x 24 jam,” jelasnya. Ia melanjutkan selain batas waktu 3 x 24 jam untuk mendaftarkan permohonan, maka akan ada 3 x 24 jam kedua untuk melakukan perbaikan 3 x 24 jam. Jika telah lengkap seluruh permohonan, maka akan diregistrasi oleh Kepaniteraan MK.
Menanggapi penjelasan tersebut, Fauzia DPP Advokasi Partai Gerindra mempertanyakan efektivitas batas waktu 3 x 24 jam dalam mengajukan permohonan serta alat bukti untuk PHPU Tahun 2024. Atas pertanyaan tersebut, Wiryanto menyampaikan sejumlah saran untuk menyiasati batas waktu ini. Pertama, ia meminta agar para peserta yang hendak menjadi pemohon sudah bisa memperkirakan, semisal mengenai perselisihan suara, maka harus menyiapkan alat bukti terkait suara.
“Jika sudah menyiapkan terkait dalil yang dimohonkan, InsyaAllah bisa lolos. Seringnya semua alat buktik dikirim ke MK, ini boleh-boleh saja, tapi baiknya sejak awal hingga akhir, semua dokumen dikumpulkan. Misal, di TPS X ada penggelembungan suara, maka Bapak dan Ibu harus menyiapkan bukti terkait dalil tersebut, seperti Planonya. Cukup satu itu saja, maka itu mewakili permohonan Bapak dan Ibu,” jelas Wiryanto.
Dukungan ICT
Dalam sesi terakhir hari kedua, hadir Kasub Tata Usaha Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi MK Jefriyanto dan Tenaga Programmer Utama Ishak Purnama yang memaparkan mengenai materi “Pemanfaatan TIK dalam Penanganan Perkara di MK”. Dalam penjelasannya, Ishak menyebut pemanfaatan TIK merupakan salah satu upaya nyata yang dilakukan MK untuk mewujudkan kemudahan akses para pihak dalam beperkara di MK sebagai lembaga peradilan yang modern dan tepercaya.
Menambahkan keterangan tersebut, Tenaga Programmer Utama Ishak Purnama menyebut sebagai peradilan modern, MK memiliki sistem kerja berbasis ICT (information, communication, and technology), memiliki mindset dan cultureset yang maju—termasuk di dalamnya berkomitmen pada ICT (integrity, clean, and trustworthy).
“Tidak hanya dibutuhkan mindset yang maju, namun membutuhkan cultureset yang memajukan. Sebagai contoh, kala pandemi, kita yang mengharuskan bekerja, kuliah, dan sekolah di rumah, maka muncul peran teknologi yang penting dalam melaksanakan aktivitas. Begitupula dengan ada di MK, maka para pihak yang berperkara harus familiar dengan teknologi ini,” urai Ishak.
Lebih lanjut, Ishak memperkenalkan sejumlah aplikasi yang dimiliki oleh MK untuk memudahkan para pihak dalam mengakses keadilan, di antaranya Sistem Informasi Penanganan Perkara Elektronik atau SIMPEL (diatur dalam PMK 18/2009), laman MK, Click MK, dan lainnya. Terkait banyak pertanyaan mengenai sulitnya akses jika menggunakan SIMPEL, Ishak menyebut MK telah bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi se-Indonesia dalam penggunaan smart board mini courtroom yang dapat dipergunakan. Keberadaan smart board mini courtroom berada di 53 lokasi dari perguruan tinggi hingga Desa Konstitusi.
“Kami tidak hanya mengirimkan alat-alat smart board mini courtroom, namun juga dilengkapi dengan fasilitas internet. Jadi, Bapak dan Ibu yang tadi mempertanyakan masalah jaringan, silakan datang langsung ke perguruan tinggi terdekat untuk mengajukan persidangan online,” tandas Ishak.
Untuk diketahui, kegiatan Bimtek Partai Gerindra dilaksanakan pada Senin – Kamis (13 – 16/2/2023) diikuti oleh sebanyak 151 orang peserta. Adapun materi yang akan diberikan kepada para peserta meliputi: (1) Mahkamah Konstitusi dan Dinamika Penanganan Perkara PHPU di Mahkamah Konstitusi; (2) Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2024; (3) Mekanisme,Tahapan dan Kegiatan Penanganan Perkara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2024; (4) Teknik serta Praktik Penyusunan Permohonan Pemohon dan Penyusunan Keterangan Pihak Terkait; (5) Sistem Informasi Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2024; dan (6) Evaluasi hasil Penyusunan Permohonan Pemohon dan Penyusunan Keterangan Pihak Terkait. Narasumber yang hadir di antaranya dari hakim konstitusi, panitera muda MK, Asisten Ahli Hakim Konstitusi, dan lainnya. (*)
Penulis: Lulu Anjarsari P.
Editor: Lulu Anjarsari P.