JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Pasal 15 ayat (2) huruf (d) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Senin (13/2/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan Nomor Perkara 13/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Moch Ojat Sudrajat.
Pasal 15 ayat (2) huruf (d) UU Pers menyatakan, “Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.”
Dalam sidang yang digelar secara luring yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, Ojat (Pemohon) memaparkan kerugian hak konstitusionalnya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, terhadap “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” yang dilakukan oleh wartawan dan/atau perusahaan pers yang tidak terdaftar di Dewan Pers dan/atau “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” berupa berita bohong atau hoax, fitnah, dan menghina dan/atau mencemarkan nama baik serta merendahkan harkat dan martabat baik perorangan, badan hukum maupun badan publik dan berita yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
“Pemohon pernah mengalami langsung terkait dengan permasalahan adanya pemberitaan yang beredar yang bersifat mencemarkan nama baik Pemohon. Kemudian ada pemberitaan pers yang berisikan tidak benar dan juga palsu. Akan tetapi setiap permasalahan pemberitaan pers itu penyelesaiannya harus melalui Dewan Pers. Sementara menurut Pemohon, Dewan Pers hanya (menyelesaikan) pemberitaan (dari media) yang didata oleh Dewan Pers. Sedangkan media-media yang tidak terdata di Dewan Pers menurut pendapat kami bukan kewenangan dari Dewan Pers sendiri,” kata Ojat.
Sementara dalam permohonannya, Ojat menegaskan ketentuan pasal tersebut khususnya pada frasa “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” tidak jelas, apakah termasuk “pemberitaan pers” yang dilakukan oleh wartawan dan/atau perusahaan pers yang tidak terdata/tidak terdaftar di Dewan Pers. Selain itu, apakah termasuk segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
Pemberitaan pers yang berisikan berita bohong atau Hoax, Fitnah, dan menghina dan/atau mencemarkan nama baik serta merendahkan harkat dan martabat baik perorangan, Badan Hukum maupun Badan Publik dan berita yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sehingga, menurutnya, hal itu menimbulkan kerugian nyata bagi Pemohon yaitu tidak adanya rasa nyaman, merasa dipermalukan dan kecewa serta emosi dari pemberitaan pers yang demikian, dan dugaan pidana tersebut terbukti tidak dapat dilakukan pelaporan ke aparat hukum, karena berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf (d) UU Pers harus terlebih dahulu diselesaikan di Dewan Pers.
Ia menjelaskan, Media BP memberitakan jumlah Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan baik berstatus ASN dan Non ASN di SMKN 2 Kota Serang adalah 193 orang, sementara berdasarkan data DAPODIK yang Pemohon unduh dari website kemendikbud sebanyak 152 orang: sama dengan penjelasan yang disampaikan oleh pihak SMKN 2 Kota Serang. Demikian juga dengan data di SMAN 2 Pandeglang dimana media BP memberitakan jika jumlah Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan berjumlah 108 orang sementara sementara berdasarkan data DAPODIK yang Pemohon unduh dari website kemendikbud didapatkan data sebanyak 84 orang: sama dengan data yang disampaikan oleh pihak SMAN 2 Kabupaten Pandeglang.
Terjadinya selisih jumlah tenaga pendidikan dan tenaga kependidikan berdasarkan data DAPODIK yang dimiliki oleh media BP dengan data yang disampaikan oleh pihak sekolah, kemudian dianggap oleh media BP sebagai adanya dugaan “Honorer Siluman” di kedua sekolah tersebut dan dianggap menimbulkan kerugian daerah karena “honorer” mereka tetap dibayarkan melalui dana APBD Provinsi Banten. Dalam pemberitaan tersebut “honor” dari honorer siluman tersebut diduga diterima oleh oknum Pejabat di lingkungan Pemprov Banten, dan walaupun sudah ada bantahan dari pihak terkait, media BP tetap terus memberitakan tentang “Honorer Siluman” tersebut secara masif, bahkan wartawannya memperoleh penghargaan.
Akibat pemberitaan yang dilakukan oleh media BP tersebut, telah menimbulkan kegaduhan khususnya di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten. Oleh karena itu, Pemohon sebagai Pengamat Pendidikan dan Kebijakan Publik (termasuk oleh media BP) memandang perlu untuk menggunakan “Hak Koreksi”nya.
Atas laporan Pengaduan Pemohon tersebut Dewan Pers baru mengeluarkan Penilaian Sementara dan Rekomendasi dengan Surat Nomor 1406/DP-K/X/2022 tanggal 26 Oktober 2022, artinya perlu waktu 54 hari kalender atau hampir 2 (dua) bulan itu pun baru dalam bentuk “penilaian sementara”. Selanjutnya atas Laporan Pengaduan ke Dewan Pers tersebut baru diputuskan secara “final” oleh Dewan Pers pada tanggal 1 Desember 2022, sehingga diperlukan waktu kurang lebih 3 (tiga) bulan untuk penyelesaian laporan pengaduan tersebut.
Dalam pemberitaan media BP tanggal 9 Desember 2022 tersebut, disebutkan profil oknum LSM yang melakukan gugatan di PTUN Jakarta terhadap Ombudsman RI, terkait dengan hasil akhir pemeriksaan atas aduan Koalisi Masyarakat Sipil atas Pengangkatan Pj. Kepala Daerah. LSM ini juga yang melakukan gugatan terhadap Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Banten, di PTUN Serang, dan di PTUN Jakarta maupun di PTUN Serang. Oknum LSM yang melakukan gugatan baik terhadap Ombudsman RI maupun Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Banten adalah Perkumpulan Maha Bidik Indonesia (yang = ketuanya adalah Pemohon). Berdasarkan hasil penelusuran yang Pemohon lakukan, didapatkan fakta bahwa sering terjadi perselisihan pemberitaan pers dengan masyarakat, dalam hal pribadi maupun badan/lembaga. Permasalahan pokoknya bukan ketidaktahuan para Pelapor tentang prosedur terhadap permasalahan pemberitaan pers ke Dewan Pers akan tetapi para Pelapor diduga ingin menggunakan hak-nya untuk melaporkan agar ada efek jera dan jangan ada “keistimewaan” di hadapan hukum terhadap oknum wartawan dan/atau pimpinan media;
Dengan demikian bukan hanya Pemohon yang dirugikan hak konstitusionalnya atas berlakunya pasal tersebut tetapi juga pihak-pihak lain sesama warga negara Indonesia dan badan publik yang merasa telah dirugikan karena tercemar nama baiknya dan tidak dapat menuntut secara pidana, dan hal ini akan terus terjadi di masa yang akan datang dengan masih berlakunya ketentuan pasal tersebut.
Pemohon meyakini bahwa Pasal a quo sepanjang frasa “kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers” adalah bertentangan dengan UUD 1945, dan oleh karena itu harus dianggap tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan pemohon untuk mempelajari PMK Nomor 2 Tahun 2021. “Tolonglah itu dipelajari PMK 2/2021 secara seksama mengenai identitas pemohon. Identitas pemohon ini tidak usah memasukkan NIK cukup dibuat berdasarkan Pasal 10 PMK 2 Tahun 2021. Nama, kewarganegaraan, pekerjaan dan alamat,” kata Enny.
Kemudian Enny juga menasihati agar poin kewenangan MK diruntut lagi menjadi lebih sistematis dengan memasukkan UUD, UU Kekuasaan Kehakiman, UU MK, UU, Peraturan Perundang-undangan dan lainnya.
Sedangkan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyarankan agar norma yang diuji ditempatkan di kedudukan hukum. “Supaya nanti kelihatan kerugian konstitusional yang dirugikan dengan berlakunya norma. Kemudian, kalau kita melihat uraian saudara ini belum dimuat norma asalnya. Norma asal kan di sini ada Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut, nah itu harus ada.” kata Manahan.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.