JAKARTA, HUMAS MKRI – Memasuki akhir masa magang di Mahkamah Konstitusi (MK), lima orang mahasiswa yang tergabung dalam The Australian Consortium for 'In-Country' Indonesian Studies (ACICIS) mempresentasikan laporan akhir magang di hadapan sejumlah pegawai MK pada Kamis (9/2/2023) di Gedung 2 MK. Dalam kesempatan tersebut, lima orang mahasiswa, yakni Juwariya Malik dari UNSW Sydney, Cruz Spadaccini dari Murdoch University, Ririka Stephenson dari Griffith University, Stephanie Illiadis dari Australian National University, dan Gwyn Roberts dari Deakin University mempersentasikan makalah dalam berbagai tema. Tema yang diusung, di antaranya mengenai kebebasan beragama di Indonesia dan Australia; tinjauan perubahan iklim dikaitkan dengan Konstitusi Hijau; hak konstitusional bagi pencari suaka dan pengungsi, narkotika dan hukuman mati, dan lainnya.
Sebelum memulai presentasi, Kepala Bagian Sekretariat Tetap AACC dan Kerja Sama Luar Negeri Sri Handayani menyampaikan sambutannya. Ia berharap para peserta magang tersebut mendapatkan wawasan mengenai sistem hukum di Indonesia serta pengetahuan tentang lembaga peradilan di Indonesia.
" Saya yakin hari ini, di akhir program, teman-teman sekalian mengetahui bagaimana sistem hukum di Indonesia, mengetahui banyak hal tentang prosedur Pengadilan, dan mendapatkan banyak wawasan tidak hanya dari kami tetapi juga dari lembaga lain seperti seperti Mahkamah Agung, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan. Selain itu, saya juga yakin kemampuan individu kalian juga meningkat; terutama keterampilan untuk berinteraksi dengan orang Indonesia dan mengetahui cara kerja di sini. Ini termasuk beradaptasi dengan cuaca yang berbeda, budaya yang berbeda, dan jenis masakan yang berbeda. Saya senang kalian semua juga berhasil beradaptasi dengan makanan pedas Indonesia. Jadi, selamat atas prestasi tersebut," ujar Sri.
Memulai pemaparan, Juwariya Malik yang mengangkat tema mengenai perbandingan perlindungan hak beragama di Indonesia dan Australia menyebut bahwa kedua negara merupakan negara multi-agama dan multi-keyakinan dengan tingkat perlindungan konstitusional dan hukum yang berbeda untuk melindungi kebebasan beragama, berekspresi dan mencegah diskriminasi agama. Menurutnya, ada beberapa perbedaan, yakni Australia yang sekuler memiliki perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan beragama yang lebih baik dibandingkan dengan Indonesia yang pluralis dan memiliki kebebasan beragama, tetapi hanya sampai batas tertentu, mengingat praktik diskriminasi terhadap minoritas.
Meskipun Indonesia secara konstitusional telah menjamin perlindungan bagi minoritas agama sejak 2017, implementasi dan kepatuhan terhadap hak-hak ini tidak seefektif dan membutuhkan peningkatan kesadaran untuk mencegah pelanggaran hak minoritas adat, juga dikenal sebagai penghayat kepercayaan. Disimpulkan bahwa Indonesia harus belajar dari Australia dengan meningkatkan prakarsa kerja sama antaragama, dan Australia harus belajar dari Indonesia dengan memasukkan perlindungan yang dijamin secara hukum untuk kebebasan beragama untuk melindungi kekhawatiran agama minoritas. Sementara kedua negara adalah penandatangan UDHR dan ICCPR yang menjamin perlindungan hak dan kebebasan beragama. Dalam praktiknya, kedua negara menjalankan perlindungan dan dorongan kebebasan atau ekspresi keagamaan dalam mekanisme yang sangat berbeda.
Sementara Gwyn Roberts menyampaikan bahwa hukuman mati bagi pengguna dan pengedar narkotika tidak berlaku di Australia karena dinilai melanggar hak asasi manusia. Hal berbeda justru diimplementasikan oleh Indonesia bagi pengedar narkotika. Menurutnya, hal ini mungkin dibutuhkan oleh Indonesia dalam krisis penyalahgunaan narkotika. “Hal ini karena di Indonesia, penyalahgunaan narkotika merupakan kejahatan yang luar biasa,” ujarnya.
Untuk diketahui, lima mahasiswa tersebut memulai kegiatan magang sejak 5 Januari 2023. Selain belajar di MK, mereka juga mengunjungi sejumlah lembaga negara, yakni Komnas HAM, ASEAN, dan lainnya. (*)
Penulis: Ammar Soaloon Rambe/LA
Editor: Lulu Anjarsari P.