JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang uji materiil aturan mengenai sistem proporsional terbuka sebagaimana diatur dalam Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), pada Kamis (9/2/2023) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut digelar secara luring dengan agenda mendengarkan keterangan Pihak Terkait, yakni M. Fathurrahman, Sharlota, Asnawi dengan dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya.
Ade Septiawan Putra selaku kuasa hukum M. Fathurrahman dalam keterangannya menyampaikan, pengaturan sistem proporsional terbuka dalam UU Pemilu merupakan pelaksanaan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 3 Desember 2008 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Dengan demikian, adanya keinginan rakyat memilih wakilnya yang diajukan oleh partai politik dalam pemilu sesuai dengan kehendak dan keinginannya dapat terwujud. Harapan agar wakil yang terpilih tersebut juga tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilih.
“Dengan sistem proporsional terbuka rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih. Maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih yaitu calon yang memperoleh suara dukungan rakyat paling banyak. Bahwa dengan diberikan hak kepada rakyat secara langsung untuk memilih dan menentukan pilihannya terhadap calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan suara terbanyak, di samping memberikan kemudahan kepada pemilih dalam menentukan pilihannya juga lebih adil tidak hanya bagi calon anggota DPR dan DPRD, tetapi juga untuk masyarakat menggunakan hak pilihnya baik masyarakat yang bergabung sebagai anggota partai politik maupun masyarakat yang tidak bergabung partai politik peserta pemilu. Kemenangan seseorang untuk terpilih tidak lagi digantungkan kepada partai politik peserta pemilu, tetapi sampai sejauh mana besarnya dukungan suara rakyat yang diberikan kepada calon tersebut,” terang Ade.
Dengan demikian berdasarkan putusan MK tersebut, sambung Ade, sistem proporsional terbuka dianggap sebagai sistem terbaik dalam penyelenggaraan pemilu dengan one man, one vote, one value.
Terhadap argumentasi dan pandangan para Pemohon yang menyatakan, praktik penyelenggaraan pemilu dengan sistem proporsional terbuka dianggap telah mengerdilkan organisasi partai politik dalam menentukan seleksi calon legislatif, membuat daftar nomor calon legislatif dan menentukan siapa saja yang layak terpilih dalam pemilu, ia menilai bahwa anggapan pemohon tersebut kurang tepat karena dalam sistem proporsional tertutup maupun terbuka tetap partai politik yang menentukan seluruh daftar calon legislatif di seluruh daerah pemilihan. Bedanya, dalam sistem proporsional tertutup calon legislatif tidak dicantumkan dalam surat suara sedangkan sistem proporsional terbuka memuat tanda gambar partai politik dan nama calon legislatif pada surat suara.
Menurut Ade, sistem proporsional terbuka tidak mengurangi hak partai politik dalam menentukan seleksi calon legislatif dan membuat daftar nomor urut calon legislatif. Meskipun calon legislatif merupakan perseorangan, tetapi tetap bernaung dalam partai politik sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 241 ayat (1) dan (2) UU Pemilu yang menyatakan bahwa partai politik peserta pemilu melakukan seleksi bakal calon legislatif anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota serta seleksi bakal calon dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga dan atau peraturan internal partai politik peserta pemilu. Sehingga partai politik memiliki kewenangan penuh dalam menentukan seleksi calon legislatif dan membuat daftar nomor urut calon legislatif termasuk menentukan siapa calon legislatif yang layak dipilih yang juga merupakan akder terbaik partai yang telah diseleksi partai.
“Pemilihan atas sistem proporsional terbuka dalam UU merupakan hasil musyawarah pembentukan UU dengan memperhatikan kondisi obyektif proses transisi demokrasi Indonesia yang masih memerlukan penguatan sub-sub sistem politik dalam berbagai aspek antara lain penguatan aspek sistem kepartaian, budaya politik, budaya perilaku pemilih, hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, kemajemukan ideologi, kepentingan dan aspirasi politik masyarakat yang direpresentasikan oleh partai politik dan lain-lain. Selain itu, proses penyelenggaraan tahapan pemilihan umum tahun 2024 telah berjalan sehingga perubahan yang bersifat mendasar seperti sistem pemilihan umum ditengah proses tahapan pemilu yang telah berjalan berpotensi menimbulkan gejolak sosial politik baik di parpol maupun masyarakat,” tegasnya.
Lebih lanjut Ade mengatakan, berlakunya pasal a quo tidak serta-merta menghalangi hak dan atau kewenangan konstitusional para Pemohon karena para Pemohon tetap mendapatkan pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan tetap dapat melakukan aktivitas sebagai warga negara untuk memilih maupun dipilih dalam pemilu dengan baik.
Dengan demikian berdasarkan uraian tersebut, Ade tidak ada hak dan atau kewengan konstitusional para pemohon yang dirugikan akibat keberlakuan UU Pemilu. Dengan tidak adanya kerugian dimaksud, maka sudah dapat dipastikan tidak ada kepentingan hukum para pemohon dan tidak ada hubungan sebab dan akibat.
Bukan Mereduksi Kedaulatan Rakyat
Sementara Pihak Terkait, Sharlota yang diwakili oleh La Ode Risman mengatakan sistem proporsional terbuka yang telah diberlakukan tiga kali, yakni Pemilu 2009, 2014 dan 2019 telah terbukti dengan baik dan demokrasi dan tidak ada huru-hara.
“Tidak ada persoalan integrasi oleh para Pemohon jika dihubungkan dengan Pemilihan Umum Tahun 2019 itu tidak benar dan sangat keliru. Pemilu yang diselenggarakan pada 2019 tersebut sangat demokratis dan pemohon salah memaknai peran partai politik dalam pemilu sebagaimana perintah konstitusi sangat ambigu,” urai La Ode Risman.
La Ode juga mengatakan keberadaan partai politik sebagai sistem pemerintahan begitu penting, namun bukan berarti mereduksi kedaulatan rakyat dalam berbangsa dan bernegara sehingga dalam pemilu rakyat harus ditempatkan pada posisi istimewa karena saluran kedaulatan berada pada rakyat.
“Pemilihan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dipilih melalui pemilihan umum yang artinya pemilihan umum yang diselenggarakan atas pilihan-pilihan rakyat untuk menentukan siapa yang mereka pilih secara konstitusional karena pemilih kedaulatan itu adalah rakyat bukan partai politik dalam pelaksanaan-pelaksanaan pemilu sebelumnya dengan menggunakan sistem proporsional terbuka sudah pilihan yang terbaik dan demokratis,” papar La Ode.
Selain itu, La Ode menyebut partai politik adalah saluran alat perjuangan, tetapi bukan berarti kedaulatan mutlak ada di tangan partai politik. “Sehingga akan menimbulkan absolutisme dengan memasung ide dan karya kader serta kepentingan perjuangan kepentingan masyarakyat baik sudah lama berproses di partai politik maupun baru dengan pengertian terpilih menjadi anggota DPR atau DPRD secara langsung menjadi pengurus,” tukasnya.
Berpeluang Hidupkan Oligarki
Sedangkan Pihak Terkait lainnya, Asnawi, dkk., yang diwakili oleh Yudi Rijali Muslim menegaskan pengaturan UU Pemilu bertujuan agar calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dapat memaksimalkan diri dalam melakukan pendekatan penyampaian visi dan misinya kepada rakyat pemilihnya. Serta mendorong parpol mengajukan kader-kader terbaiknya yang teruji dan berkualitas untuk memenangkan kursi sehingga rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dapat memilih caleg yang benar-benar mewakilinya. “Serta mewujudkan aspirasi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan,” .
Sebagai pihak terkait, sambung Yudi, menilai sistem proporsional tertutup akan berpotensi menutup kompetisi antar sesama kader partai. Sistem proporsional tertutup berpeluang menghidupkan oligarki dalam tubuh partai politik. Bagi partai politik yang mempunyai tradisi komando yang kuat, otoriter serta berbasis dinasti sistem proporsional tertutup ini lebih disukai, sistem seperti ini memiliki peluang karir terbesar dalam partai politik dengan karakter tersebut. Di sisi lain sistem proporsional tertutup juga dinilai menghidupkan kembali oligarki di dalam tubuh parpol. Sementara oligarki parpol relatif mendapatkan hambatan untuk tumbuh melalui sistem proporsional terbuka.
“Tertutupnya kompetisi antarkader juga melahirkan kompetisi yang lebih mengakar ke atas daripada ke bawah, maka kami khawatir sistem proporsional tertutup juga dimanfaatkan oleh parpol yang berjiwa opportunis, elitis dan mampu mengakomodir aspirasi rakyat dan tidak mampu berkomunikasi baik dengan rakyat,” jelas Yudi.
Baca juga:
Menyoal Konstitusionalitas Sistem Proporsional Terbuka dalam Pemilu
Kader Parpol Pertegas Alasan Permohonan Uji UU Pemilu
Presiden Minta Penundaan Sidang Uji UU Pemilu
Penuhi Permintaan Sidang Luring, MK Tunda Sidang UU Pemilu
Sistem Proporsional Terbuka Bebaskan Pemilih Memilih Wakil Legislatif
Sebagai informasi, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Saat sidang pendahuluan di MK pada Rabu (23/11/2022), para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Mestinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
Para Pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Sistem proporsional terbuka dinilai Pemohon menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga apabila pasal-pasal a quo dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil. Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina