JAKARTA, HUMAS MKRI – Yurisdiksi universal adalah bentuk yurisdiksi yang relatif langka namun penting. Hal ini lebih kepada hukum pidana internasional alih-alih domestik juga sebagai kontribusi negara terhadap penegakan hukum internasional. Dalam beberapa kasus, pelaksanaannya merupakan kewajiban menurut hukum internasional apakah itu bagian dari perjanjian internasional atau bagian dari kewajiban negara untuk memberikan akses pada setiap individu terhadap keadilan.
Demikian disampaikan oleh Devika Hovell yang merupakan Associate Professor di Hukum Internasional Publik yang diterjemahkan oleh Juru Bahasa Annisa Cinantya Putri, saat Devika menyampaikan keterangan ahli dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) pada Rabu (8/2/2023) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang untuk Perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Marzuki Darusman (Pemohon I), Muhammad Busyro Muqoddas (Pemohon II), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI/Pemohon III) ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Dikatakan Devika, ia melihat yurisdiksi universal sebagai suatu izin dari masyarakat internasional untuk menguniversalkan hak terhadap akses keadilan untuk komunitas korban terkait dengan kejahatan yang mendapat perhatian masyarakat internasional. Ini juga tidak berdampak terhadap kepentingan-kepentingan sah dari negara yang melakukan penuntutan.
“Dengan demikian ini bukan hanya perihal peran yang dimainkan oleh negara penuntut di dalam masyarakat internasional namun juga terkait dengan hak dan kepentingan negara. Hal ini dapat dilakukan melalui pelaksanaan yurisdiksi universal tadi,” ujar Devika.
Menurutnya, yusrisdiksi universal bukanlah suatu hak atau kewajiban yang absolut tetapi bisa diseimbangkan dengan kewajiban internasional dan juga kepentingan lainnya dari suatu negara. Jadi suatu negara dapat menolak melaksanakan yurisdiksi universal apabila tidak dimungkinkan oleh hukum internasional atau dibatasi oleh kepentingan-kepentingan lainnya. Untuk memberikan contoh dari pembatasan yurisdiksi universal yaitu apabila menyangkut prinsip seseorang tidak bisa diadili untuk satu kejahatan di tempat lain untuk kejahatan yang sama.
Prinsip lain adalah prinsip kekebalan dan dalam melaksanakan yurisdiksi universal maka pengadilan harus menghormati kekebalan dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa pejabat-pejabat-pejabat publik tingkat tinggi seperti kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri mendapatkan kekebalan dari yurisdiksi negara lain baik dalam hal perdata maupun pidana dan tidak ada pengecualian dalam hal kejahatan internasional. Seorang individu akan kehilangan kekebalannya setelah dia selesai mengampu jabatannya dan juga kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri dan di luar dari ketiganya umumnya tidak ada kekebalan fungsional secara umum tidak berlaku untuk kejahatan internasional dan seharusnya tidak menghalangi penegakkan yurisdiksi universal.
Pembatasan lainnya adalah apabila hal ini mengganggu secara tidak proporsional kepentingan-kepentingan dari negara yang melakukan penuntutan. Jadi suatu negara bisa memilih untuk tidak dilaksanakan yurisdiksi universal apabila kemudian memberikan akses yang lebih baik kepada korban atau pun yang mengganggu kepentingan dari negara penuntut.
Otoritas di suatu negara yang bertanggung jawab melaksanakan investigasi dan juga pengadilan dapat melakukan penilaian apakah yurisdiksi universal akan memberikan dampak yang tidak proporsional terhadap akses keadilan dan juga kepentingan negara. Pemeriksaan ini dapat dilakukan terhadap seberapa berat kejahatan. Hal-hal ini dapat menyeimbangkan pemenuhan hak keadilan daripada korban kepentingan dan tujuan sah dari negara yang melakukan penuntutan itu.
Kesahihan Yurisdiksi Internasional
Sementara Cheah W.L yang merupakan Profesor Madya dari Fakultas Hukum Universitas Nasional Singapura dalam persidangan menyatakan, berdasarkan hukum internasional dan perkembangan-perkembangan di ASEAN, Indonesia harus melakukan dan melaksanakan yurisdiksi universal. Menurutnya, yurisdiksi universal memiliki landasan hukum yang sangat baik dan kokoh di dalam hukum Internasional dan di negara-negara ASEAN sudah menerima validitas dan kesahihan dan pentingnya yurisdiksi universal. Persoalan kedaulatan dan hubungan internasional tidak menghalangi Indonesia untuk melaksanakan yurisdiksi universal. Dia mengatakan Indonesia harus berpartisipasi dalam pembentukan hukum Internasional dan hukum-hukum kebiasaan Internasional. Dalam hal ini Indonesia juga merupakan satu pemain yang aktif dan pemimpin di bidang HAM baik di tingkat regional maupun di tingkat global.
Kemudian Cheah menjelaskan, KUHP yang baru mengizinkan dilakukannya yurisdiksi universal untuk kejahatan-kejahatan berdasarkan hukum Internasional. Negara-negara ASEAN semuanya menerima kesahihan pentingnya yurisdiksi universal. Perwakilan-perwakilan negara ASEAN di hadapan PBB berulang kali menyatakan bahwa mereka mengakui kesahihan dan pentingnya yurisdiksi universal.
Tahun 2022, di Komite keenam PBB, Indonesia menyatakan bahwa prinsip yurisdiksi universal merupakan salah satu perangkat yang penting dan krusial untuk mengakhiri impunitas terhadap pelanggaran berat, hukum humaniter internasional dan kejahatan-kejahatan internasional lainnya.
Menurutnya, dalam hal ini Indonesia tidak sendirian karena Vietnam sudah mengakui bahwa yurisdiksi universal merupakan salah satu instrumen yang penting untuk memerangi kejahatan internasional dan imunitas. Thailand juga sudah mengakui prinsip yurisdiksi ini sebagai salah satu alat yang berguna untuk mengakhiri impunitas.
Baca juga:
Menembus Batas Teritorial Pengadilan HAM
AJI Perbaiki Kedudukan Hukum dalam Uji UU Pengadilan HAM
Kuasa Presiden Minta Sidang Uji UU Pengadilan HAM Ditunda
Pandangan DPR Soal Pengadilan Pelaku Pelanggaran HAM Berat
Sidang Uji UU Pengadilan HAM Ditunda
Tanggung Jawab Negara dalam Perkara Pelanggaran HAM Berat
Konstitusi Indonesia Melindungi HAM Setiap Orang Termasuk WNA
Sistem Peradilan Myanmar Pasca Kudeta
Untuk diketahui, permohonan Nomor 89/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) diajukan oleh Marzuki Darusman, Muhammad Busyro Muqoddas, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Para Pemohon mengujikan frasa “… oleh warga negara Indonesia” dalam Pasal 5 UU Pengadilan HAM. Selengkapnya Pasal 5 UU Pengadilan HAM menyatakan, “Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.”
Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Senin (26/09/2022), para Pemohon menyebutkan frasa “… oleh warga negara Indonesia” dalam Pasal 5 UU Pengadilan HAM menghapus tanggung jawab negara dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Selain itu, frasa tersebut juga menghilangkan prinsip tanggung jawab negara di daerah‑daerah yang pelaku kejahatannya melibatkan negara.
Pelanggaran HAM di Myanmar
Myanmar hingga saat ini masih mengalami situasi politik yang tidak pasti akibat pemberlakuan keadaan darurat oleh pihak militer. Tragedi kemanusiaan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pun terus terjadi di Myanmar.
Dengan adanya pembatasan pada Pasal 5 UU Pengadilan HAM tersebut, maka sulit bagi para korban pelanggaran HAM untuk memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. Sebab menurut para Pemohon, Myanmar tidak menjadi bagian dari International Criminal Court karena tidak turut menandatangani Statuta Roma. Sehingga tidak mungkin negara dengan kekuasaan seperti junta militer mendirikan pengadilan HAM untuk mengadili para pejabatnya yang terlibat pelanggaran HAM. Oleh karena terjadi kekosongan hukum untuk menindaklanjuti pelaku pelanggaran HAM berat di Kawasan Asia tersebut, diperlukan suatu cara untuk melindungi warga negara—tidak saja di Myanmar, tetapi juga di ASEAN secara keseluruhan untuk bisa mengemban hak-hak membela diri secara pribadi.
Untuk itu, dalam petitum para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan frasa “oleh warga Negara Indonesia” yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945,” pinta Feri Amsari selaku kuasa hukum para Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK, Senin (26/09/2022).
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.