Pengubahan konstitusi semestinya lahir dari sebuah kajian komprehensif. Amendemen tak boleh parsial, apalagi cuma untuk kepentingan sesaat. Prinsip ini yang harus dipegang bila kita henda kembali mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945. Ada juga faktor lain yang harus dipertimbangkan: usul itu mesti disokong oleh kekuatan politik yang cukup agar masuk agenda Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Gagasan amendemen itu datang dari Lembaga Kajian Konstitusi. Albert Hasibuan, salah satu anggota lembaga ini, menyebut bahwa perubahan konstitusi diusulkan antara lain karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa terbelenggu oleh kekuasaan lembaga legislatif. Dia mencontohkan banyak program makro soal kemiskinan dan pangan tak bisa berjalan. "Presiden mengeluh seakan-akan kaki dan tangannya terikat karena tidak bisa menjalankan programnya."
Ada dua hal yang bisa dicermati menyangkut usul itu. Pertama, secara substansi keluhan Presiden patu diperhatikan. Hal yang dipersoalkan Presiden pada dasarnya menyangkut prinsip keseimbangan antara kekuasaan lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekuti Ketika Aristoteles menulis dalam bukunya, Politics, dia membayangkan di antara ketiga cabang kekuasaan itu tercipta mekanisme kekuasaan yang independen di satu sisi namun sekaligus juga mekanisme saling mengawasi (checks and balances) di sisi lain.
Keseimbangan itulah yang sering terganggu. Ini antara lain terjadi karena presiden yang dipilih secara langsung ternyata hanya didukung oleh partai minoritas. Maka yang terjadi adalah politik tawar-menawai antara presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dan parlemen sebagai lembaga legislatif. Dengan amendemen, diharapkan bisa dipilah-pilah secara lebih jelas pada bagian mana kekuasaan eksekutif tak lagi bisa mudah dicampuri oleh kepentingai politik di parlemen.
Aspek kedua, amendemen perlu dilakukan dengan hati-hati. Amendemen bukanlah hal tabu, karena toh kita sudah empat kali melakukannya. Namun, empat kali amendemen dalam waktu begitu singkat justru menunjukkan bahwa kita perlu melakukan kajian lebih menyeluruh dan cermat sebelum merancang perubahan konstitusi.
Proses amendemen juga tak mudah. Dalam pengajuan amendemen, jika jumlah pendukung tidak memenuhi syarat minimal sebanyak 226 anggota MPR atau sepertiga dari 678 anggota MPR, usul amendemen tak bisa diproses. Inilah yang tahun lalu terjadi terhadap usul amendemen tentang peran Dewan Perwakilan Daerah. Usul ini kandas meski proses pengajuannya memakan banyak waktu dan perdebatan.
Karena itu, penggalangan kekuatan yang memadai diperlukan jika pemerintah memang ingin mengubah konstitusi. Amendemen seharusnya juga tidak hanya menyangkut penguatan kekuasaan eksekutif, tapi jug persoalan dasar lain yang perlu direvisi dalam konstitusi. Akan lebih baik bila usul amendemen diajukan setelah didahului dengan inventarisasi persoalan tersebut, sehingga proses amendemen bisa berlangsung sekaligus.[]
Sumber: HU Koran Tempo / Rabu, 23 April 2008 (Editorial)
Foto: Dok. Humas MK