JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Pasal 256, Pasal 603, dan Pasal 604 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Selasa (7/2/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 10/PUU-XXI/2023 ini diajukan Andi Redani Suryanata, dkk. Para Pemohon yang merupakan perorangan warga negara Indonesia yang saat ini merupakan mahasiswa yang menguji materiil Pasal 256, Pasal 603, dan Pasal 604 KUHP.
Dalam sidang yang digelar secara daring, Andi Redani Suryanata yang merupakan salah satu dari pemohon menyampaikan para Pemohon memegang teguh prinsip untuk melawan dan menentang korupsi sebagai ilmu yang tidak terpisahkan dari tataran praktikal mahasiswa. para Pemohon juga berusaha menjauhi perilaku koruptif di tempat kuliah. Para pemohon berpendapat penumpasan korupsi menjadi sia-sia dan terhambat, karena sistem hukum Indonesia sendiri menciptakan pelemahan terhadap pemberantasan korupsi sanksi pidana korupsi yang rendah di dalam KUHP baru.
“Lemahnya sanksi terhadap tindak pidana korupsi dapat melemahkan pemberantasan korupsi itu sendiri. Selain itu, aspirasi para Pemohon sebagai warga negara Indonesia juga tidak didengarkan, dimana para Pemohon menentang keberlakuan pasal dalam Undang-undang pada perkara a quo yang bermasalah, dimana menunjukkan ketidakterbukaan dan partisipasi masyarakat, serta secara disengaja dan sistematis menunjukkan pelemahan hukuman korupsi,” ujar Andi dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo tersebut.
Andi menegaskan, para Pemohon sebagai mahasiswa juga aktif berdemonstrasi menentang kebijakan bermasalah, termasuk para Pemohon sudah pernah berdemontrasi juga menenatang pasal-pasal bermasalah dalam perkara a quo. Pemohon khawatir apabila ke depannya nanti pasal yang diuji berlaku, maka tidak akan ada lagi yang mau berdemo, dan begitu juga para Pemohon, karena takut dipidanakan dengan pasal yang saat ini sedang diujikan oleh para Pemohon. Sehingga, dimasa depan nanti, para Pemohon dan juga mahasiswa-mahasiswa lainnya, tidak akan bisa lagi berdemo.
Lebih lanjut, Muhammad Adam yang merupakan Pemohon prinsipal lainnya menyebutkan, pasal yang diuji berpotensi mengkriminalisasi warga masyarakat karena tidak terdapat uraian lebih lanjut mengenai siapa atau apa yang dimaksud dengan “pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang”.
“Patut untuk dipertanyakan bagaimana yang dimaksud dengan ‘pemberitahuan’ pada pasal a quo, apakah hanya sekedar pemberitahuan saja kepada aparat yang berwenang, melakukan koordinasi dengan pihak yang berwenang, atau harus meminta dan mendapatkan izin dari pihak yang berwenang,” urai Adam.
Adam mengatakan, terhadap frasa “pemberitahuan” pada pasal yang diujikan tersebut tidak memenuhi prinsip asas legalitas nullum crimen, nulla poena sine lege certa karena rumusan pidana pada pasal a quo tidak memberikan pengaturan yang jelas serta kepastian hukum dan dapat berpotensi multitafsir oleh aparat penegak hukum. Hal tersebut dapat juga memperbesar potensi adanya kriminalisasi kepada warga masyarakat yang melakukan aksi demonstrasi atau unjuk rasa.
Menurut Adam, pada pasal a quo terdapat frasa “mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat”. Merupakan suatu hal yang tidak mungkin dihindarkan bahwa pada saat melakukan aksi di tempat umum seperti pawai, demonstrasi, atau unjuk rasa membuat terganggunya kepentingan umum sebagai contoh kemacetan hingga pengalihan akses jalan yang merugikan orang lain. Tak jarang pula ketika pelaksanaan demonstrasi maupun unjuk rasa terjadi bentrokan antarwarga masyarakat dan aparat hingga menimbulkan keonaran maupun huru- hara. Oleh sebab itu, adanya pasal a quo sekali lagi mampu memperbesar potensi kriminalisasi bagi warga masyarakat.
Para pemohon juga menegaskan, tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan yang merugikan seluruh warga negara termasuk negara itu sendiri, maka sudah sepantasnya bahwa KUHP mengatur bahwa hukuman maksimal untuk pelaku tindak pidana korupsi diancam dengan pidana mati. Dengan adanya ancaman tersebut, maka diharapkan agar orang-orang yang ingin melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dapat mengurungkan niatnya, sehingga angka kasus korupsi di Indonesia dapat berkurang.
“Dengan demikian sudah seharusnya dan sudah sepantasnya guna menghindari serta menanggulangi tindak pidana korupsi yang merupakan extraordinary crime maka ancaman pokok yang diatur dalam pasal a quo adalah pidana mati bukan pidana penjara,” tandas Adam.
Nasihat Hakim
Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan saran kepada para pemohon untuk menjelaskan substansi kewenangan MK secara mendalam. “Apakah benar kewenangan MK untuk menguji KUHP yang akan berlaku tiga tahun lagi. Tadi sudah ada penjelasan tetapi perlu ada penjelasan lagi secara lebih lengkap konstruksi pada permohonan yang menyangkut KUHP,” ujar Arief. Selain itu, Arief juga meminta para pemohon untuk menjelaskan hak konstitusional yang dirugikan karena disebabkan oleh Pasal yang diujikan.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan tanda tangan yang tertulis dalam surat kuasa dengan yang ada dalam permohonan ini berbeda. “Saya hanya ingin mengingatkan kepada kalian semua bahwa sebagai mahasiswa generasi muda hati-hati tanda tangan ini jangan sampai tanda tangan palsu. Bisa dilakukan tindakan kalau nanti tanda tangan palsu. Jadi, tolong sekali lagi karena ini pemohonnya cukup banyak ada 20 Pemohon, jadi Anda mungkin sekali kesulitan tanda tangan tetapi jangan sekali-sekali memalsukan tanda tangan. Tolong diperhatikan,” saran Enny.
Kemudian Enny juga meminta para Pemohon untuk menguraikan kedudukan hukum dan syarat kerugian konstitusional. “Harus diperhatikan secara baik-baik apakah ada yang bisa diklasifikasikan jadi satu atau ada yang berbeda. Itu tergantung dari bagaimana anda menjelaskan masing-masing identitasnya tadi. Ini kan pasti ada perbedaan-perbedaan identitas masing-masing dari mahasiswa ini. Tolong anda perhatikan, karena anda hanya menyebutkan para pemohon adalah mahasiswa, begitu saja. Jadi tidak bisa dikroyok begitu tetapi harus anda bisa bangun satu persatu harus detil. Ada bukti-bukti yang menyatakan itu,” terangnya.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan para pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun batas penyerahan perbaikan paling lambat pada Senin, 20 Februari 2023 pukul 14.00 WIB.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina