JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan terhadap pengujian norma tentang penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap pemerintah yang termuat dalam ketentuan Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sidang kedua dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan yang diajukan oleh Fernando Manullang (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia/Pemohon I), Dina Listiorini (Dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta/Pemohon II), Eriko Fahri Ginting (Content Creator/Pemohon III), dan Sultan Fadillah Effendi (Mahasiswa/Pemohon IV) digelar di Ruang Sidang Panel MK.
Di hadapan Majelis Sidang Panel MK yang terdiri atas Hakim Konstitusi Suharyoto, Arief Hidayat, dan Daniel Yusmic P. Foekh ini, Dina Listiorini selaku Pemohon II dari perkara Nomor 7/PUU-XXI/2023 menyebutkan beberapa perbaikan yang telah dilakukan pihaknya. Di antaranya perbaikan pada alasan permohonan bahwa dirinya selaku pengajar diharuskan memberikan pengajaran pikiran kritis. Dengan adanya norma yang diujikan tersebut, ia khawatir akan dibatasi dalam penyampaian pemikiran dalam berbagai media belajar.
“Sehingga saya selaku pengajar berpotensi dipidanakan jika dianggap menghina,” sebut Dina yang hadir bersama dengan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak selaku kuasa hukum dan Fernando Manullang selaku Pemohon I.
Baca juga:
Mempertanyakan Pasal Penghinaan terhadap Pemerintah
Sebagai tambahan informasi, dalam persidangan perdana yang digelar di MK pada Selasa (24/1/2023) para Pemohon melalui kuasa hukum Zico Leonard Djagardo Simanjuntak menyebutkan, Pemerintah sebagai pihak yang menjalankan keberlangsungan negara tidak jarang menerima berbagai macam kritik maupun saran dari warga negara. Namun terkadang dalam penyampaian kritik tersebut tidak sesuai dengan etika yang pada akhirnya berujung pada penghinaan maupun pencemaran nama baik.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya Pemerintah juga dilindungi dari tindakan penghinaan maupun pencemaran nama baik. Namun bukan berarti Pemerintah dapat dibuatkan suatu pasal khusus terkait dengan larangan tindakan penghinaan bagi Pemerintah tersebut.
“Maka patut menjadi pertanyaan mengapa bagi setiap orang yang melakukan tindakan penghinaan terhadap Pemerintah dibuatkan suatu pasal khusus? Padahal dalam KUHP sudah terdapat pengaturan mengenai tindakan penghinaan maupun pencemaran nama baik yang berlaku dan dapat diterapkan bagi semua orang tak terkecuali Pemerintah. Adanya pengaturan khusus terkait dengan penghinaan terhadap Pemerintah tersebut sejatinya telah melanggar konstitusi serta prinsip Equality Before The Law sebagaimana termanifestasikan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945,” sebut Zico.
Berikut Zico juga mengatakan dengan adanya pengaturan khusus terkait dengan penghinaan terhadap Pemerintah, maka secara tidak langsung hal demikian telah mencederai Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Oleh karena itu, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.