JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) pada Kamis (2/2/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang kali kedua dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dengan didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh sebagai anggota Sidang Panel. Sebanyak dua perkara yakni Perkara Nomor 5/PUU-XIX/2023 dan Nomor 6/PUU-XIX/2023 digabung pemeriksaannya dalam persidangan.
Viktor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukum Pemohon Perkara Nomor 5/PUU-XIX/2023 menyampaikan poin-poin perbaikan permohonan. Di antaranya menambah jumlah Pemohon. Semula, Pemohon berjumlah enam orang yaitu Hasrul Buamona, Siti Badriyah, Harseto Setyadi Rajah, Jati Puji Santoro, Syaloom Mega G. Matitaputty, dan Ananda Luthfia Rahmadhani. Kemudian dalam naskah perbaikan permohonan, jumlah Pemohon bertambah tiga, yaitu Wenda Yunaldi, Muhammad Saleh, dan Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS), sehingga jumlah Pemohon menjadi sembilan.
Selain itu, Viktor menyempurnakan poin kewenangan MK dalam memutuskan perkara ini. Kemudian mempertegas kedudukan hukum para Pemohon, dan menyertakan provisi atas pengajuan permohonan ini.
“Bahwa dalam Provisi di mana secara materil Perppu 2/2022 ini tidak hanya berkaitan dengan memperbaiki salah ketik, tetapi juga ketentuan perubahan yang tidak melalui mekanisme legislasi di DPR. Hal ini telah menimbulkan persoalan serius dan untuk menghindari dampak lebih besar lagi, maka menjadi keharusan bagi MK untuk memberikan putusan sela,” sebut Viktor dalam sidang yang dihadirinya secara luring beserta Hasrul Buamona dan Siti Badriyah selaku Pemohon Prinsipal pada perkara ini.
Sebelumnya, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK, Kamis (19/1/2023) lalu, para Pemohon Perkara Nomor 5/PUU-XIX/2023 menyebutkan subjektivitas Presiden untuk menerbitkan Perppu harus didasarkan pada keadaan yang objektif. Apabila diukur dari tiga tolok ukur, keberadaan Perppu ini tidak memenuhi syarat karena selama ini Pemerintah menggunakan UU 11/2020 (UU Cipta Kerja) untuk melaksanakan kebutuhan mendesak dalam penyelesaian masalah hukum yang masuk dalam ruang lingkupnya, dan selama ini tidak terjadi kekosongan hukum.
Lebih lanjut para Pemohon menjelaskan bahwa berpedoman pada Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bahwa UU Nomor 11/2020 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat karena naskah akademik dan rancangannya tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat, tata cara pembentukan UU tersebut tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, dan terjadi pula perubahan penulisan beberapa substansi pasca-persetujuan bersama DPR dan Presiden serta bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga UU tersebut dinilai cacat formil. Namun ternyata Pemerintah menerbitkan Perpu 2/2022 dengan tidak memenuhi amanat serta amar Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan tidak memenuhi Putusan Nomor 139/PUU-VII/2009. Tindakan demikian menurut para Pemohon tentunya menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan proses pembentukannya bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 karena tidak pula memenuhi syarat kegentingan memaksa yang seharusnya didasarkan pada keadaan yang objektif. Untuk itu, para Pemohon dalam provisi memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Perppu Cipta Kerja ditunda pemberlakuannya sampai dengan adanya putusan akhir dari MK.
Fokus Uji Formil
Sementara itu Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI/Pemohon) dalam Perkara Nomor 6/PUU-XXI/2023 melalui Harris Manalu menyebutkan butir-butir perbaikan yang telah dilakukan pihaknya. Di antaranya, perbaikan pada objek permohonan, surat kuasa, kedudukan hukum Pemohon. Pemohon juga menambahkan Pasal 3 PMK 2/2021, dan alat bukti.
Terhadap objek permohonan, tadinya Pemohon mengajukan pengujian formil dan materil. Namun pada perbaikan permohonan, Pemohon menghapus pengujian materil dan lebih fokus pada pengujian formil.
“Berikutnya pada permohonan pada bagian legal standing, kami telah menguraikan bahwa Presiden dan Sekjen dapat mewakili organisasi di dalam dan luar pengadilan. Lalu pada permohonan ini kami juga meminta agar Mahkamah memperhatikan pertimbangan untuk jangka waktu pengujian formill yang dinyatakan 45 hari dan dalam hal ini Pemohon mengajukan permohonan pada 9 Januari 2023, sedangkan Perppu ini diundangkan pada 30 Desember 2022, maka menurut Pemohon permohonan kami ini beralasan untuk diterima,” sebut Harris yang hadir secara langsung.
Sebelumnya, pada sidang pemeriksaan pendahuluan di MK, Kamis (19/1/2023) lalu, Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2023 mendalilkan 55 Pasal yang terdapat dalam Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Pemohon, norma yang terdapat pada Perpu tersebut menghilangkan hak konstitusional para buruh yang telah dijamin dalam UUD 1945 dan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam bidang hukum ketenagakerjaan, Pemohon tidak melihat adanya kekosongan hukum. Sebab hingga saat ini masih terdapat UU 13/2003 dan sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya yang masih tetap berlaku di Indonesia.
Untuk itu melalui Petitum dalam permohonan formil, Pemohon memohon kepada Mahkamah mengabulkan permohonan pengujian formil Pemohon; menyatakan pembentukan Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang berdasarkan UUD 1945.
Baca juga:
Perppu Cipta Kerja Dinilai Tak Memenuhi Syarat Kegentingan Memaksa
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R..
Humas: Tiara Agustina.