JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang pengujian materiil Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap UUD 1945 kembali digelar pada Rabu (1/2/2023) secara daring di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan perkara Nomor 93/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi. Adapun agenda persidangan kali ini adalah mendengarkan keterangan dari dua ahli pemohon yakni Gerard Quinn yang merupakan Pelapor Khusus PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Suparman Marzuki.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, Suparman Marzuki mengatakan, orang dalam hukum memiliki kedudukan utama dan penting karena melalui oranglah konsep-konsep hukum berguna dan bermakna. “Orang dalam hukum mencakup aspek fisik, jiwa, kehormatan, kebebasan, hak, kewajiban dan kepentingan,” ujarnya.
Menurutnya, unsur manusia dalam hukum tidak tergantikan karena hulu dan hilir dari hukum adalah untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu, konsepsi-konsepsi di era modern ini sangat menghormati manusia dan semakin memanusiakan manusia. Orang dalam hukum disebut sebagai subyek hukum yang mana menurut Stone salah satu aspek pemberian hak adalah legal rasional. Bahwa seseorang baru dapat dipenuhi haknya sebagai subyek hukum apabila ia dapat melakukan perbuatan hukum.
Dikatakan Suparman, Pasal 433 KUHPerdata adalah norma yang dibangun dari cara pandang stigma yang tidak menghormati manusia. Kata “dungu”, gila/mata gelap dan seterusnya adalah stigma negatif pada manusia.
“Dengan cara pandang stigma lalu pasal a quo mencabut, mengalihkan atau setidaknya mengecualikan secara paksa status orang sebagai hak yang tidak bisa dikecualikan dalam keadaan apapun,” ucap Suparman.
Suparman menegaskan, negara seharusnya merubah cara pandang negatif semacam itu dengan mengkonstruksikan norma dalam UU berdasar UUD 1945 yang berisi bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan bukan justru dialihkan/dicabut/ditiadakan haknya sebagai subyek.
Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas
Dalam keterangan tertulis, Suparman juga menyampaikan Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities or CRPD) ditetapkan dengan Resolusi Majelis Umum atau G.A. Res. A/RES/61/106 pada 13 Desember 2006 dan dibuka untuk penandatanganan pada 30 Maret 2007. Pemerintah Indonesia melakukan ratifikasi terhadap Konvensi ini dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak Penyandang Disabilitas pada 10 November 2011.
Pada pertimbangannya, Konvensi ini menekankan pentingnya prinsip universalitas, ketidakterpisahkan, kesalingtergantungan, dan kesalingterkaitan dari semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental serta kebutuhan bagi penyandang disabilitas untuk dijamin pemenuhan hak-haknya tanpa diskriminasi. Disabilitas juga dilihat sebagai suatu konsep yang terus berkembang dan hasil dari interaksi antara orang-orang dengan keterbatasan kemampuan, sikap, dan Iingkungan yang menghambat partisipasi penuh dan efektif mereka di dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.
Ketentuan pada Konvensi dan instrumen nasional tentang penyandang disabilitas ini menjadi pijakan bahwa pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk memastikan hak-hak penyandang disabilitas dilindungi, dipenuhi dan dihormati. Penyandang disabilitas adalah subjek hukum penuh, setara dalam martabat dan hak, dan harus diperlakukan penuh dengan penghormatan.
Pada aspek akses terhadap keadilan, Konvensi memberikan dua prinsip penting yaitu (1) Negara Pihak harus menyediakan akomodasi yang memadai agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi pada proses-proses hukum, baik pada saat menjadi saksi, mengikuti proses pemeriksaan penyidikan maupun pada saat proses sidang di pengadilan; dan (2) untuk mengembangkan akomodasi yang memadai, negara pihak harus mengembangkan pelatihan bagi semua orang yang bekerja pada bidang penyelenggaraan hukum, termasuk hakim, jaksa, polisi dan staf pemasyarakatan.
Pengakuan sebagai Manusia
Sedangkan Gerard mengatakan permasalahan yang dibicarakan ini merupakan satu permasalahan yang memiliki signifikansi di dunia yaitu suatu isu mengenai kecakapan hukum. Gerard menyebut, saat perjanjian mengenai disabilitas dirumuskan, isu ini sebelumnya tidak diperkirakan akan menjadi signifikan. Namun terdapat banyak pemerintah negara dan juga NGO bersikukuh bahwa alasan adanya ketidaksetaraan yang begitu besar dihadapi oleh para penyandang disabilitas adalah karena mereka tidak terlihat dan juga kurang pengakuan mereka sebagai manusia.
“Jadi Pasal 12 pada khususnya dari konvensi hak-hak penyandang disabilitas menjadi instrument yang sangat penting, juga Pasal 12 ini disebut sebagai maksud dan paham tujuan utama dari CRPD. Permasalahan-permasalahan yang dibahas hari ini juga dihadapi banyak pemerintah dan juga telah melakukan banyak upaya reformasi hukum di bidang ini” terang Gerard dalam Bahasa Inggris yang diterjemahkan oleh Juru Bahasa Annisa Cinantya Putri.
Dua Gelombang Respons HAM
Menurut Gerard, reformasi hukum tersebut di antaranya didorong oleh keputusan-keputusan konstitusional yang menjadi stimulus bagi pemerintah untuk ingin berpikir berbeda mengenai permasalahan ini. Isu ini menurutnya sangat penting dan mendasar terkait dengan hal-hal seperti etika, filsafat dan aplikasi dan praktek hukum.
“Isu ini pun sebetulnya bukan isu baru pertanyaan mengenai apa yang dianggap manusia dalam masyarakat kita. Dan sayangnya seperti yang kita ketahui dalam sejarah hukum ada banyak orang yang tidak dianggap sebagai subyek hukum maupun juga manusia di dalam kebijakan. Kalau kita melihat sejarah dalam 200 atau 300 tahun pun ke belakang terdapat reformasi hukum yang terus berjalan agar semakin banyak manusia dapat diakui sebagai person dan juga diakui sebagai orang. Namun ada pengecualian yang dialami oleh penyandang disabilitas,” ujarnya.
Dengan demikian, sambung Gerard, inilah batas terakhir invisiblitas di dunia pada saat ini. Gerard pun mengutip gagasan mengenai kematian perdata. Gagasan mengenai tidak diakuinya seseorang sebagai manusia memiliki implikasi yang sangat besar terhadap pelaksanaan hak-hak baik hak untuk menikah, memiliki properti, untuk berusaha kemudian hak untuk berkonsultasi dengan tenaga medis.
“Saya juga melihat fenomena kematian perdata terkait dengan penyandang disabilitas sebagai salah satu hak konstitusional yang perlu kita atasi pada saat ini,” jelasnya.
Permasalahan mengenai kapasitas hukum juga sangat erat kaitannya dengan isu seperti agensi moral dan juga pengakuan terhadap seseorang di hadapan hukum khususnya hukum konstitusi. Menghapuskan hak-hak ini pertama kali dianggap sebagai suatu permasalahan pada era 1990an dan ini kemudian memicu gelombang pertama respons sudut dari pandang HAM. Dapat dikatakan selesainya serta disahkannya rumusan CRPD menjadi tonggak dari gelombang respons yang kedua. Respons yang pertama, sambung Gerard, pada tahun 1990an didorong oleh pengadilan HAM di Eropa dan berfokus pada dua hal yang pertama fokus untuk mempersempit dan memperkecil lingkup dari ketidakcakapan hukum yang diterapkan terhadap penyandang disabilitas. Reformasi ini dinilai cukup berhasil.
Hal yang kedua, lanjut Gerard, yang menjadi fokus dari gelombang reformasi ini adalah proses hukum atau due process. Bahwa setiap orang tidak boleh dihapuskan pengakuannya terhadap manusia tanpa mereka sendiri dilibatkan secara langsung dan bermakna. Di akhir proses ini pun masih ada hal-hal yang bermasalah dalam hal kecakapan hukum dan kategori-kategori lainnya terkait dengan penyandang disabilitas. Meskipun sekarang lingkupnya telah lebih kecil serta proses hukum lebih ditekankan tetapi masih terdapat isu yang diatasi. Gelombang reformasi kedua terjadi dipicu oleh Pasal 12 dari konvensi hak-hak penyandang disabilitas PBB atau CRPD.
Terkait hak mengenai kesetaraan dan perlakuan setara, ia melanjutkan, terdapat tiga hal yaitu perumus dari CRPD dan badan pemantau yang menginterpretasikan konvensi ini menerapkan teori kapasitas hukum universal yang menyatakan setiap orang dan khususnya setiap orang dengan disabilitas lepas dari perbedaannya tetap memiliki hak hukum untuk mengambil keputusan yaitu hak hukum terhadap kapasitas hukum. Ini adalah salah satu langkah yang sangat menarik di tingkat Internasional karena langkah ini mengantisipasi atau sejalan dengan temuan-temuan ilmiah yang berjalan hingga saat ini.
Selain itu ia mengatakan, hal terpenting yang telah dilakukan oleh MK adalah mendorong pihak eksekutif untuk berpikir secara berbeda dan mengambil pendekatan yang lebih inovatif. “Menurut saya ini adalah pemanfaatan kewenangan judicial yang sangat baik,” tegas Gerard.
Baca juga:
Menghapus Stigma Penyandang Disabilitas Mental dalam KUHPerdata
Permohon Perbaiki Uji Stigmatisasi Penyandang Disabilitas Mental
DPR Bahas Definisi Pengampuan dalam KUHPerdata
Penentuan Tindakan Pengampuan Tergantung pada Hakim
Ahli: Pengampuan Bukan Lagi Perlindungan
Sebagai informasi, permohonan Nomor 93/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian materiil Pasal 433 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap UUD 1945 diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi.
Pasal 433 KUHPerdata menyatakan, “Setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, bahkan ketika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya”.
Kuasa hukum para Pemohon, Anang Zubaidy dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (26/9/2022) secara daring mengatakan Pasal 433 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 berkaitan dengan pengakuan dan persamaan di hadapan hukum dan asas kepastian hukum yang adil. Pasal tersebut menjadikan keadaan disabilitas dalam hal ini dungu, mata gelap sebagai alasan untuk menyangkal kapasitas hukum disabilitas mental. Sehingga yang bersangkutan tidak mendapatkan hak untuk diakui dan diperlakukan sama di hadapan hukum.
Selain itu, sambung Anang, Pasal 433 KUH Pedata sesungguhnya telah mengakui bahwa gangguan kejiwaan dapat bersifat episodic yakni dengan adanya pencantuman frasa sekalipun kadang cakap mempergunakan pikirannya. Namun Pasal 433 KUHPerdata menyamaratakan antara kondisi episodik dengan orang yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan atau keborosan. Padahal, tidak semua penyandang disabilitas mental memiliki gangguan psikis yang bersifat permanen sebagai contoh skizofrenia yang merupakan permasalahan kejiwaan yang episodic bukan menetap, dikarenakan sifat episodic tersebut penyandang disabilitas mental tidak selalu berada dalam keadaan yang disebut tidak mampu berpikir atau berbuat rasional.
Para Pemohon dalam permohonan juga menyoroti pengobatan dengan menggunakan obat-obatan psikiatri yang fundamental bagi pemulihan kepada orang dengan gangguan jiwa masih belum ditemukan pada saat penyusunan KUHPerdata pada tahun 1830. Menurut Pemohon, pengampuan dalam pasal tersebut dapat diartikan sebagai keadaan seseorang yang dianggap tidak cakap atau dalam segala hal tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam lalu lintas Hukum. Atas dasar hal itu, orang tersebut dengan keputusan Hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak. Orang tersebut diberi wakil yang disebut pengampu. Pemohon menambahkan, menyamakan situasi dan posisi orang dengan gangguan jiwa pada abad ke-21 dibandingkan dengan situasi dan kondisi pada abad ke-19 sudah tidak relevan.
Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 433 KUHPerdata tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “dungu, gila, mata gelap dan/atau keborosan” tidak dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.