JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang Pengujian Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (1/2/2023). Sidang permohonan perkara Nomor 4/PUUXXI/2023 ini diajukan oleh Herifuddin Daulay.
Dalam sidang yang digelar secara daring Herifuddin Daulay menyampaikan bahwa ia telah memperbaiki permohonannya. “Sesuai anjuran atau masukan dari Majelis Hakim sudah disederhanakan dengan menggunakan tiga norma. Dan terdapat penambahan norma pengujian yakni Pasal 1 ayat (2), Pasal 6 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 36 dan Pasal 4 ayat (1),”ujarnya.
Kemudian, sambung Herifudin, pemohon juga memperjelas kedudukan hukum dalam mengajukan pengujian. Ia mengatakan, pemohon terhalang karena tidak dapat memilih presiden dan wakil presiden yang telah terbukti memiliki kompetensi yang baik. Menurutnya, memilih presiden dan wakil presiden merupakan upaya bela negara. Sehingga ia meyakini telah memenuhi semua persyaratan Pasal 4 ayat (2) PMK Nomor 2 Tahun 2021 karena memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian.
Baca juga: Pembatasan Masa Jabatan Presiden Dua Periode Dinilai Banyak Mudaratnya
Sebelumnya, Pemohon merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya norma Pasal 7 UUD 1945 mengenai adanya pembatasan pribadi jabatan Presiden hanya boleh mendaftar dan atau terpilih untuk 2 (dua) kali masa jabatan. Kerugian tersebut berdasarkan anggapan Pemohon bahwa orang yang kompeten untuk jabatan Presiden hanya sedikit, sehingga pembatasan tersebut akan mengakibatkan pemimpin yang terpilih adalah orang yang tidak berkompeten.
Selanjutnya Pemohon menilai, terdapat kesalahan dalam teks Pasal 7 UUD 1945 tentang jabatan Presiden, baik kesalahan karena penulisan teks atau kesalahan dalam memahami teks. Kesalahan secara implisit mengandung makna “bila” yaitu terkandung makna “Kondisional bersyarat”. Menurut Pemohon, kesalahan dimaksud karena teks mengambang dalam pengertiannya. Dengan makna “kondisional bersyarat” tersebut maka diperlukan peraturan tambahan untuk menguatkan maksud dari norma dimaksud, sehingga secara keseluruhan makna utuh dari Pasal 7 UUD 1945 adalah hanya diutamakan untuk ditetapkan 2 (dua) kali masa periode dan jika diinginkan, melalui pembiaran atau keputusan peradilan konstitusi yaitu oleh Mahkamah Konstitusi.
Adapun peraturan tambahan berupa Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i pada UU Pemilu menurut Pemohon menjadi pokok dasar dari adanya pembatasan pribadi jabatan calon Presiden dan atau Wakil Presiden untuk menjabat lebih dari 2 (dua) kali masa jabatan baik secara berturut-turut maupun berselang. Sehingga, Pemohon berpendapat bahwa pembatasan jabatan Presiden justru lebih besar mudarat ketimbang manfaatnya sehingga norma yang mengatur pembatasan jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang hanya 2 (dua) kali masa jabatan harus dihapus. Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan untuk menyatakan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Fitri Yuliana