JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Permohonan diajukan oleh Robiyanto yang berprofesi sebagai wiraswasta. Sidang pengucapan Putusan Nomor 86/PUU-XX/2022 digelar pada Selasa (20/12/2022) di Ruang Sidang MK.
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan.
Sebelumnya, Robiyanto (Pemohon) mendalilkan Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon menceritakan orang tuanya atas nama Taslim meninggal dunia pada 14 April 2002 akibat dibunuh secara sadis di Pasar Malam Balai, Kelurahan Karimun, Kecamatan Tebing, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. Atas kejadian ini, Pemohon melapor kepada Kepolisian Resor Karimun. Terhadap laporan tersebut dua orang yang kemudian menjadi terpidana dan dijatuhi penjara selama 15 tahun, sedangkan 5 lima orang lainnya masuk pada daftar pencarian orang (DPO). Namun perkara atas 2 orang yang ditetapkan tersangka oleh Majelis Hakim dihentikan penyidikannya oleh Kepolisian Republik Indonesia dengan alasan hukum perkara daluwarsa sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 78 ayat (1) angka (4) KUHP.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, MK mengatakan norma Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon menyatakan “kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun” adalah norma yang mengatur mengenai pembatasan jangka waktu penuntutan yang berkaitan erat dengan hak negara dalam melakukan penuntutan terhadap suatu hal yang dilarang atau ius puniendi yaitu pembatasan jangka waktu terhadap hak negara dalam melakukan proses penuntutan kepada tersangka atau terdakwa tindak pidana atau yang lebih dikenal sebagai pembatasan hak negara dalam menjatuhkan pidana. “Oleh karenanya, daluwarsa (kedaluwarsa) masa penuntutan merupakan salah satu perwujudan dari prinsip due process of law dalam rangka memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum sebagai salah satu karakteristik dari sebuah negara hukum yang konstitusional,” ujar Wahiduddin Adams.
Selain itu, sambung Wahiduddin Adams, kehadiran ketentuan pasal a quo merupakan salah satu bentuk perlindungan oleh peraturan perundang-undangan, in casu KUHP yang bertujuan menciptakan perlindungan kepada pelaku dan korban tindak pidana dari kekuasaan negara (penuntutan) yang apabila tidak diberlakukan norma a quo dapat menjadi tanpa batas.
“Tersangka atau terdakwa pada dasarnya ditempatkan pada posisi subyek hukum yang tidak bersalah sampai adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahannya dapat dibuktikan dan putusan dimaksud memiliki kekuatan hukum tetap atau sering dipahami sebagai asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Oleh karena itu, esensi dari asas dimaksud terlepas tersangka atau terdakwa yang telah disangkakan atau didakwakan telah melakukan tindak pidana dan sepanjang belum terbukti kesalahannya, penting bagi negara tetap mengutamakan adanya jaminan perlindungan hukum terhadap hak asasinya,” ujar Wahiduddin.
Demikian halnya dengan pihak yang dirugikan akibat adanya peristiwa pidana tersebut, sambung Wahiduddin Adams, korban tindak pidana tidak kalah pentingnya juga untuk tetap diberi perlindungan hukum, atas kerugian yang dideritanya. Terlebih, korban tindak pidana sesungguhnya bukan hanya korban langsung semata, akan tetapi juga masyarakat luas, karena masyarakat mengalami gangguan ketenteraman dan keamanan dalam menikmati kehidupannya di tengah masyarakat. Hal demikian sebenarnya sebagai wujud implementasi riil dan sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mewajibkan negara untuk memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum kepada warga negaranya tanpa terkecuali, yaitu tersangka/terdakwa, korban tindak pidana dan masyarakat sebagai representasi dari kepentingan umum.
Lebih lanjut MK menegaskan, dalam perspektif implementasi perlindungan kepastian dan keadilan hukum, daluwarsa penuntutan pidana juga merupakan bagian esensial yang diperlukan dalam rangka mewujudkan kepastian dan keadilan hukum. Daluwarsa penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP ditegaskan bahwa masa penuntutan pidana bagi pelaku tindak pidana dibatasi dengan batas waktu yang lamanya tergantung dari kualifikasi atau jenis tindak pidananya dan berat/ringan ancaman pidananya (strafmaat).
Menurut MK, dengan mendasarkan pada ketentuan norma Pasal 78 KUHP tersebut maka apabila dicermati isu yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah berkenaan dengan masa penghitungan daluwarsa untuk tindak pidana yang terkait dengan ketentuan norma Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP. Berkaitan dengan dalil yang dipersoalkan oleh Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat masa daluwarsa penuntutan tindak pidana secara universal memiliki peran yang sangat strategis dalam mendukung terciptanya kepastian dan keadilan hukum, bukan hanya bagi tersangka atau terdakwa tetapi juga bagi korban dan/atau keluarga korban serta masyarakat pada umumnya. Penegasan tersebut dimaksudkan agar kewenangan negara dalam melakukan penuntutan atas pelaku tindak pidana dimaksud hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu atau dibatasi dengan jangka waktu yang tanpa batas. Secara doktrinal, daluwarsa memberikan kepastian dan keadilan hukum kepada tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana, agar tersangka atau terdakwa tidak selamanya terganggu ketenteraman hidupnya tanpa adanya batas waktu dari ancaman penuntutan oleh negara yang mewakili kepentingan umum.
“Tersangka/terdakwa yang berada dalam masa tunggu untuk dilakukan penuntutan pidana, sesungguhnya tidak semata-mata karena melarikan diri untuk menghindari tuntutan pidana, akan tetapi juga karena proses hukum yang dialaminya mengalami kendala di dalam proses penyidikan ataupun penuntutan. Dengan demikian, bagi tersangka/terdakwa yang berada dalam masa penantian untuk dilakukan proses penuntutan tersebut merupakan masa menjalani ‘hukuman’ tersendiri, baik secara moral (stigma) dan kadang secara fisik juga, sebab tidak sedikit tersangka/terdakwa hak-haknya sebagian telah dilakukan upaya paksa (pro justitia) oleh aparat penegak hukum, baik dalam bentuk perampasan kemerdekaan 97 badan maupun harta benda, misalnya penetapan tersangka, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan tindakan pencegahan untuk tidak boleh bepergian ke luar negeri,” tegasnya.
Hakikat Kedaluwarsa
Pertimbangan hukum lainnya yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, pada dasarnya penuntutan pidana adalah sebuah kewenangan negara dalam mewakili kepentingan umum yang diaktualisasikan melalui suatu bentuk tindakan hukum yang lebih dikenal dengan proses penegakan hukum dalam mengungkap suatu peristiwa pidana. Oleh karena itu, aparat penegak hukum di dalam mengungkap adanya peristiwa pidana harus melakukan tahapan-tahapan, di antaranya penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang kesemua tahapan tersebut masing-masing mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda. Terlebih, terhadap peristiwa pidana yang mempunyai dimensi pembuktian rumit dan melibatkan banyak pihak, baik tersangka/terdakwa maupun saksi-saksi. Dengan demikian, hakikat daluwarsa di samping dapat memberikan kepastian dan keadilan hukum bagi tersangka/terdakwa, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, daluwarsa penuntutan pidana juga merupakan salah satu bentuk kepastian hukum bagi korban tindak pidana dan masyarakat umum. Sebab, dengan adanya masa daluwarsa dapat dijadikan acuan waktu bagi korban tindak pidana untuk mengambil langkah-langkah konstitusional di dalam mendapatkan kepastian hukum dan keadilan.
“Pada dasarnya penuntutan pidana adalah sebuah kewenangan negara yang diaktualisasikan melalui suatu bentuk tindakan hukum yang lebih dikenal dengan proses penegakan hukum dalam mengungkap sebuah tindak pidana, yang memerlukan proses pembuktian dengan didasarkan pada alat-alat bukti [vide Pasal 184 KUHAP] yang valid, baik cara perolehan alat-alat bukti dimaksud, maupun keterangan-keterangan para saksi dan tersangka/terdakwa yang dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana yang dipersyaratkan oleh ketentuan undang-undang,” ujar Suhartoyo.
Oleh karena itu, sambungnya, peniadaan jangka waktu daluwarsa penuntutan pidana sebagaimana dimohonkan dalam permohonan a quo, di mana masa daluwarsa berlaku “seumur hidup” pelaku tindak pidana bagi pelaku pidana yang diancam pidana mati atau seumur hidup. Menurut Mahkamah, hal tersebut dapat berakibat negara, in casu aparat penegak hukum akan menemui kesulitan dalam mengumpulkan alat bukti yang valid, baik di dalam mengumpulkan fakta-fakta hukum yang harus digali dari keterangan saksi-saksi dan tersangka/terdakwa serta barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan. Sebab, dalam kurun waktu yang lama dan tanpa batas waktu daluwarsa sangat dimungkinkan telah terjadi penggantian aparat penegak hukum (penyelidik dan penyidik). Hal ini berdampak adanya kajian dan penilaian atas hasil penyelidikan dan penyidikan suatu perkara harus dimulai dari awal oleh penyidik baru dengan mendasarkan alat bukti yang dimungkinkan sudah tidak valid lagi.
Alat Bukti Tindak Pidana
Secara konkret tidak validnya alat bukti suatu tindak pidana yang disebabkan karena penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang dilakukan telah berlangsung lama dari peristiwa pidananya dapat berupa barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidananya telah rusak, para saksi telah lupa mengingat peristiwa yang dilihat, dialami dan dirasakan, karena faktor usia atau adanya gangguan kesehatan lainnya atau bahkan ada saksi yang sudah meninggal dunia. Demikian halnya dengan keterangan tersangka/terdakwa yang juga berpotensi tidak ingat lagi dengan pasti akan perbuatan pidana yang dilakukan. Dengan demikian, oleh karena persesuaian alat bukti, baik keterangan saksi, tersangka/terdakwa dan keberadaan barang bukti yang menjadi bagian dari alat bukti merupakan syarat yang fundamental dan sebagai kunci keberhasilan hakim yang mengadili perkara pidana untuk mendapatkan fakta-fakta hukum dalam proses pembuktian di persidangan guna memperoleh kepastian hukum dalam menjatuhkan putusan yang adil. Dengan demikian, pembuktian suatu perkara pidana yang didasarkan pada alat-alat bukti yang diragukan validitasnya, hal tersebut justru akan menghasilkan fakta-fakta hukum yang tidak sesuai lagi dengan peristiwa pidana yang sebenarnya, sehingga hal tersebut akan menghasilkan putusan hakim yang tidak objektif dan tidak mencerminkan kepastian hukum dan mencederai rasa keadilan.
Masa Kedaluwarsa Penuntutan Pidana
Berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, Suhartoyo melanjutkan, Mahkamah berpendapat argumentasi berkenaan dengan masa daluwarsa penuntutan pidana dengan tenggang waktu yang lamanya disesuaikan dengan berat/ringannya ancaman pidana (strafmaat), sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 78 KUHP masih tetap relevan untuk diberlakukan. Dengan demikian, pendirian Mahkamah a quo sekaligus sebagai bentuk penegasan, bahwa Mahkamah tidak dapat menerima dalil Pemohon yang memohon agar daluwarsa penuntutan pidana dalam ketentuan norma Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP diberlakukan hingga “seumur hidup” pelaku tindak pidana. Sebab, dengan pembatasan waktu daluwarsa penuntutan pidana maksimal 18 tahun untuk pelaku tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup saja, hal tersebut sudah menimbulkan persoalan berkenaan dengan validitas alat-alat bukti di dalam mengungkap adanya tindak pidana, sebagaimana telah dipertimbangkan pada pertimbangan hukum di atas. Terlebih lagi, apabila masa daluwarsa penuntutan pidana diberlakukan lebih lama dari yang sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 78 KUHP, termasuk dalam hal ini ketentuan norma Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP, yaitu masa daluwarsa “seumur hidup” bagi pelaku tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Oleh karena itu, jika dalil Pemohon diikuti, hal tersebut jelas semakin berpotensi menciptakan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum, bagi tersangka/terdakwa, korban dan masyarakat pada umumnya.
Sehingga, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat berkaitan dengan masa daluwarsa yang ada saat ini, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 78 KUHP adalah konstitusional. Namun demikian, apabila berkenaan dengan masa tenggang waktu daluwarsa tersebut akan dilakukan perubahan tentang lama tenggang waktunya, maka takaran rasa keadilan menjadi kewenangan dari pembentuk undang-undang yang merupakan representasi dari politik hukum negara dalam merepresentasikan kehendak rakyat yang menjadi bagian dari criminal policy yang secara konsisten menjadi pendirian Mahkamah selama ini. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan jangka waktu daluwarsa dimaksud, sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak melampaui wewenang dan bertentangan dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam UUD 1945. Namun demikian, oleh karena jangka waktu daluwarsa masa penuntutan pidana juga melekat hak konstitusional yang merupakan hak fundamental dari korban dan/atau keluarga korban dari pelaku tindak pidana yang juga harus diberikan perlindungan hukum atas kerugian yang dialaminya, oleh karena itu di dalam menentukan masa tenggang waktu daluwarsa dimaksud jika akan dilakukan perubahan maka harus juga mempertimbangkan hak-hak dan kepentingan korban tindak pidana.
Dengan tetap relevan memberlakukan daluwarsa masa penuntutan dalam Pasal 78 KUHP, dan ketentuan norma dimaksud dinyatakan konstitusional, maka permasalahan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana dengan adanya rasa ketidakadilan bagi korban peristiwa pidana yang secara riil tersangka/terdakwanya ditemukan baik yang kemudian diajukan dalam persidangan pengadilan maupun tidak dilakukan penyidikan/penuntutan dengan alasan telah melewati masa tenggang waktu daluwarsa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 78 KUHP. Terhadap hal yang demikian, Mahkamah berpendapat, penerapan ketentuan norma Pasal 78 KUHP tidak berarti menghilangkan hak korban dan/atau keluarga korban untuk memperoleh pertanggungjawaban dari pelaku tindak pidana yang terhindarkan dari tuntutan pidana karena diuntungkan dengan berlakunya ketentuan norma Pasal 78 KUHP.
Bentuk pertanggungan jawab dimaksud sesungguhnya bisa ditempuh oleh korban tindak pidana dengan tuntutan ganti rugi dengan penggabungan bersama-sama dengan tuntutan pidana [vide Pasal 98 ayat (1) KUHAP]. Namun, oleh karena terhadap perkara pidana yang bersangkutan telah dinyatakan tidak dapat dilakukan penuntutan pidana karena telah daluwarsa, dan oleh karenanya hak untuk menggabungkan tuntutan ganti rugi telah tertutup, maka bagi korban pelaku tindak pidana sebenarnya masih dapat menempuh cara dengan mengajukan gugatan secara keperdataan. Namun, oleh karena tuntutan secara keperdataan demikian diperlukan biaya yang tidak murah/ringan, maka melalui putusan a quo Mahkamah menegaskan dalam rangka memberikan perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil terkait pertanggungjawaban ini, pada waktu yang akan datang dapat dipertimbangkan oleh pembentuk undang-undang untuk diatur kewajiban negara dalam memberikan pertanggungjawabannya tersebut berupa kompensasi yang sesuai terhadap korban dan/atau keluarga korban. Sehingga, dengan demikian negara dapat menciptakan kesetimpalan dan keadilan yang berujung pada terciptanya rasa aman, dan damai serta menumbuhkan rasa percaya terhadap kinerja negara dalam upaya penegakan hukum pidana.
Baca juga:
Tak Peroleh Keadilan Atas Kematian Orang Tuanya, Ahli Waris Uji KUHP
Pemohon Uji KUHP Pertajam Kerugian Konstitusional
DPR Sebut Adanya Perubahan Masa Daluwarsa Kasus dalam RUU KUHP
Keterangan Ahli Terlambat, MK Tunda Sidang Uji KUHP
Masa Kedaluwarsa Tindak Pidana Tidak Adil
Pada sidang pendahuluan, Pemohon melalui kuasa hukumnya, Jhon Asron Purba, mendalilkan ketidakadilan masa kedaluwarsa penuntutan yang dialami Pemohon pada perkara ini, berpotensi membuat pelaku tindak pidana berat, keji, dan biadab yang semestinya dihukum mati atau seumur hidup tidak memperoleh hukuman sebagaimana perbuatannya. Selain itu, sambung Jhon, pasal a quo juga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon atas hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. Sebab daluwarsanya masa penuntutan terhadap pelaku tindak pidana mati atau pidana penjara seumur hidup (dalam hal ini 20 tahun) yang daluwarsanya hanya 18 tahun. Di tambah pula, Pemohon berpotensi tidak adanya kepastian hukum terhadap kematian orang tua Pemohon terhadap 5 orang masih DPO dan belum ditemukan sampai saat ini.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Serta menyatakan materi muatan Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lebih dari delapan belas tahun dan atau 36 tahun.”
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.