JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi menyatakan mengabulkan sebagian permohonan pengujian Pasal 79 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). Permohonan diajukan oleh Juliana Helemaya (Pemohon I) dan Asril (Pemohon II). Sidang pengucapan Putusan Nomor 118/PUU-XX/2022 ini dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK pada Selasa (31/1/2023).
Mahkamah dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan, penghitungan daluwarsa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP adalah setelah seluruh unsur dari perumusan tindak pidana pemalsuan surat terpenuhi, yaitu pada hari sesudah barang yang dipalsu tersebut diketahui, dipergunakan, dan menimbulkan kerugian. Ketiga unsur dimaksud haruslah dimaknai secara kumulatif.
Suhartoyo lebih lanjut mengatakan, Pasal 263 KUHP merupakan delik sengaja, baik perbuatan sengaja maupun sengaja sebagai maksud dan tidak ada delik kelalaian (culpa) dalam pemalsuan surat. Ketentuan ini pada dasarnya melindungi kepentingan umum yakni kepercayaan warga dalam hubungan masyarakat serta timbulnya kerugian.
Kerugian yang mungkin ditimbulkan sehubungan dengan pemalsuan berdasarkan Pasal 263 KUHP tidak harus kerugian yang bersifat materiil, melainkan juga apabila kepentingan masyarakat dapat dirugikan, misalnya penggunaan surat yang dipalsukan tersebut dapat menyulitkan pengusutan suatu perkara. Oleh karenanya Pasal 263 KUHP merupakan delik pemalsuan yang secara spesifik sangat penting bagi pergaulan masyarakat dan pidana tambahan yang dapat diterapkan ialah pencabutan hak serta tidak ada pidana perampasan.
Kriteria Pemalsuan Surat
Suhartoyo juga menjelaskan bahwa kriteria pemalsuan surat yang dimaksudkan harus ternyata, 1) Pada waktu memalsukan surat harus dimaksud menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan; 2) Penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian; 3) T Tidak hanya untuk yang memalsukan, tetapi yang dihukum juga yang sengaja menggunakan surat palsu, yaitu orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu maka ia tidak dihukum; 4) Sudah dianggap “mempergunakan” misalnya menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu di tempat di mana surat tersebut diperlukan; 5) Dalam hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian.
Untuk menghindari adanya ketidakpastian hukum dalam penghitungan daluwarsa pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP serta guna memberikan rasa keadilan bagi semua pihak, menurut Mahkamah, terkait dengan penghitungan daluwarsa pemalsuan surat sebagaimana ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP adalah pada hari sesudah pemalsuan surat tersebut diketahui, dipergunakan, dan menimbulkan kerugian. “Dengan demikian, adanya penafsiran yang berbeda-beda oleh aparat penegak hukum di dalam mengimplementasikan ketentuan norma Pasal 79 angka 1 KUHP, yang juga sebagian didalilkan oleh para Pemohon dapat dihindari,” ucap Suhartoyo.
Alhasil, Mahkamah dalam amar putusan menyatakan Pasal 79 angka 1 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak diketahui, digunakan, dan menimbulkan kerugian”. Sehingga, Pasal 79 angka 1 KUHP yang semula berbunyi “Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut: 1. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan” menjadi selengkapnya berbunyi, “Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut: 1. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak diketahui, digunakan, dan menimbulkan kerugian.”
Baca juga:
Multitafsir Penghitungan Daluwarsa Tindak Pidana Pemalsuan Surat
Dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Selasa (13/12/2022) lalu, para Pemohon dalam kasus konkret menyebutkan bahwa penyidik Polda Riau dan Polresta Pekanbaru dalam menerapkan ketentuan daluwarsa pemalsuan surat menggunakan Pasal 79 KUH Pidana saja. Para aparat hukum tersebut menghitung daluwarsa surat palsu adalah sejak surat yang diduga keras palsu itu digunakan, sedangkan dalam beberapa putusan pengadilan dan pendapat para ahli hukum berbeda satu sama lain. Misalnya saja, sambung Faigi, Putusan MA Nomor 2224 K/Pid/2009, Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 261/Pid/2014/PT.Bdg, Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Praperadilan nomor 05/Pid.Pra/2018/PN.Pbr. Menurut para Pemohon, berdasarkan pasal yang diujikan ini penerapan penghitungan daluwarsa tindak pidana pemalsuan surat dan/atau surat otentik oleh para penegak hukum, baik Polri, jaksa, hakim, dan pengacara ditafsirkan saling berbeda satu dengan lainnya sesuai pendapat masing-masing. Sehingga perlindungan terhadap hak-hak korban dan/atau pelapor dan/atau pihak yang dirugikan tidak mendapatkan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.