JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan untuk seluruhnya terkait uji materiil Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU PKH) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Selasa (31/1/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. “Amar putusan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman membacakan Putusan Nomor 105/PUU-XX/2022 yang diamohonkan oleh Teguh Boediyana (Pemohon I), Gun Gun Muhamad Lutfi Nugraha (Pemohon II), Ferry Kusmawan (Pemohon III), dan Irfan Arif (Pemohon IV) yang merupakan peternak sapi.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, Mahkamah menilai sudah menjadi tugas negara untuk memastikan kebutuhan pangan yang sehat bagi masyarakat senantiasa terjaga dan terpenuhi. Konstitusi—khususnya Paragraf Kedua Pembukaan UUD 1945—menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan perkataan lain, Konstitusi telah mengamanatkan agar Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat termasuk memiliki kedaulatan atas ketahanan pangan. Kedaulatan dan ketahanan pangan tidak hanya penting bagi negara dan rakyat Indonesia, tetapi juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kemandirian negara.
“Meskipun demikian, hal tersebut bukan pula menjadikan Indonesia tidak boleh menjadi negara pengimpor atas kebutuhan pangannya. Importasi dapat saja dilakukan secara insidentil guna menunjang stabilitas pangan nasional dan sepanjang tidak menghilangan kedaulatan Indonesia atas pangan dan sepanjang tidak menghilangkan ketahanan pangan nasional agar kebutuhan rakyat atas pangan terpenuhi sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Ketentuan perihali impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri,” ujar Daniel.
Dikatakan Daniel, MK memahami dengan terbukanya arus importasi pangan in casu produk hewan ternak, maka akan berdampak pada persaingan harga produk hewan ternak tersebut yang dapat melemahkan posisi pengusaha ternak lokal dalam menjalankan usahanya.
“Sementara itu di sisi lain, masyarakat sebagai konsumen mendapatkan keuntungan dengan tersedianya produk hewan murah dari importasi sebagai imbas persaingan harga produk hewan ternak tersebut. Apabila ketika kebutuhan masyrakat atas produk hewan ternak tengah mengalami peningkatan permintaan (demand) yang signifikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan dan kehati-hatian bagi negara dalam menentukan kebijakan impor produk hewan ternak agar sejalan dengan falsafah perekonomian yang diamanatkan oleh UUD 1945 yaitu diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi serta dalam rangka penguatan prinsip berdikari dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” terang Daniel.
Daniel menambahkan, Pemerintah sudah seharusnya menetapkan kebijakan dan peraturan impor pangan yang tidak berdampak negatif dan kontra produktif terhadap keberlanjutan usaha ternak, kesejahteraan peternak serta pelaku usaha mikro dan kecil. Importasi produk hewan ternak dilakukan secara ketat, hati-hati dan mengedepankan kepentingan peternak/petani di seluruh pelosok tanah air dan kepentingan nasional. Aspek kesehatan juga harus diperhatikan oleh seluruh stakeholder dalam penyediaan produk hewan ternak di masyarakat. Setiap orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib memenuhi standar keamanan pangan dan mutu pangan.
Baca juga:
Peternak Sapi Uji Aturan Impor Hewan Perbaiki Permohonan
Peternak Sapi Uji Aturan Impor Hewan
Syarat Importasi
Daniel juga menyebutkan berkenaan dengan syarat pemasukan (importasi) produk hewan telah diputus Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-XIII/2015 yang pada pokoknya mempertimbangkan bahwa prinsip kehati-hatian dan keamanan maksimal adalah mutlak diterapkan oleh Indonesia dalam melaksanakan pemasukan barang apapun dari luar ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, pemasukan produk hewan ke dalam wilayah NKRI khususnya melalui sistem zona haruslah dipandang ebagai solusi sementara yang hanya dapat dalam keadaan tertentu. Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 telah menentukan mengenai maksud “keadaan tertentu” tersebut, yaitu keadaan mendesak, antara lain, akibat bencana, saat masyarakat membutuhkan pasokan hewan ternak dan/atau produk hewan. Syarat tersebut yang menurut Mahkamah harus diterapkan dalam memasukkan produk hewan ke dalam wilayah NKRI. Dengan demikian, prinsip kehati-hatian dan keamanan maksimal merupakan pedoman penting dalam penyediaan produk hewan ternak di masyarakat.
Selain itu, menurut Mahkamah, persoalan pokok yang menjadi alasan permohonan para pemohon dalam permohonannya adalah karena berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemasukan Hewan Ternak dan/atau Produk Hewan dalam hal tertentu yang berasal dari negara atau zona dalam suatu negara asal pemasukan (PP 4/2016), Mahkamah pernah pula menjatuhkan putusan yaitu Putusan MK Nomor 129/PUU-XIII/2015 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 7 Februari 2017 dengan amar putusan menyatakan Pasal 36E ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat yaitu harus memenuhi syarat yang ada dalam Penjelasan Pasal 36E ayat (1) perihal “keadaan mendesak”.
“Dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 129/PUU-XIII/2015 dan oleh karena isu inskonstitusionalitas terhadap norma pasal yang dimohonkan pengujian para pemohon beserta argumentasi atau dalil yang dijadikan dasar permohonan para pemohon secara substansial adalah sama, meskipun dengan dasar pengujian yang berbeda, namun pada hakikatnya mempunyai esensi yang sama maka pertimbangan hukum dalam putusan tersebut menjadi pertimbangan hukum pula untuk perkara a quo berkenaan dengan Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014. Oleh karena itu dalil permohonan a quo tidak beralasan menurut hukum,” papar Daniel.
Ketahanan Pangan
Meskipun demikian, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menambahkan Mahkamah perlu mengingatkan kembali perihal kedaulatan negara atas ketahanan pangan bagi masyarakat. Dalam kaitan ini, tata kelola dan tata niaga produk hewan ternak perlu dijaga baik kuantitas maupun kualitasnya. Dari segi kuantitasnya, Pemerintah bersama peternak dan pelaku usaha peternakan seyogyanya berupaya secara terencana dan terprogram untuk meningkatkan produk ternak dalam negeri dalam rangka memperkuat dan ketahanan pangan nasional.
Mahkamah menekankan kuantitas produk ternak perlu mendapat perhatian dengan sungguh-sungguh dari pemerintah untuk memastikan ketersediaan produk ternak dalam negeri dalam jumlah yang cukup, juga memberdayakan peternakan dalam negeri dan untuk menegaskan tentang pentingnya keberpihakan negara/pemerintah kepada peternak dalam negeri. Keberpihakan negara/pemerintah dimaksud, penting diupayakan dan diselenggarakan untuk mendorong dan menciptakan tata kelola dan tata niaga produk ternak dalam negeri agar tumbuh subur, budi daya ternak menjadi lebih inovasi di bidang peternakan akan lebih maju baik menggunakan metode intensifikasi maupun ekstensifikasi produk ternak, ketergantungan pada substitusi impor semakin rendah, iklim usaha ternak menjadi lebih kondusif dan kesejahteraan peternak meningkat.
Dari segi kualitas, sambung Enny, produk ternak yang dihasilkan hendaknya memenuhi standar Kesehatan yang maksimal agar terhindar dari wabah penyakit yang dapat merugikan semua pihak. “Kedua hal tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah bersama-sama menjalankan ikhtiar dan prosedur yang memenuhi standar Kesehatan ternak sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan keamanan maksimal,” tandas Enny.
Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan (14/11/2022) Pemohon menilai, UU PKH diartikan secara keliru, disalahgunakan bahkan disengaja untuk terus menerus melakukan impor produk hewan dari negara-negara yang tidak bebas penyakit menular (PMK). Padahal importasi dari negara yang tidak bebas PMK hanya untuk tindakan sementara. Tidak adanya keadaan mendesak namun Pemerintah secara terus-menerus melakukan impor dari negara yang tidak bebas PMK, mengakibatkan sekarang Indonesia kembali terjangkit wabah PMK.
Fakta masuknya PMK ke Indonesia telah berakibat kerugian pada peternak dan juga jutaan peternak kecil yang ternaknya baik berupa sapi, kerbau, kambing dan domba serta itik/ayam yang berfungsi sebagai sumber kehidupan ekonomi serta tabungan dan kekayaan mereka.
Menurut Pemohon, masuknya daging murah dari berbagai negara yang belum bebas dari Penyakit Hewan Menular Utama (PHMU) akan memukul usaha peternakan sapi rakyat karena harga yang sangat rendah. Pada akhirnya menghancurkan perekonomian para peternak termasuk Pemohon. Dalam Petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan frasa “dalam hal tertentu” dalam Pasal 36E ayat (1) dan (2) UU PKH bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “keadaan mendesak akibat bencana sebagaimana undang-undang penanggulangan bencana“. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim