JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) terhadap UUD NRI 1945. Permohonan diajukan oleh Muh. Ibnu Hajar Rahim. Sidang pengucapan Putusan Nomor 109/PUU-XX/2022 ini digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (31/1/2023).
Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih secara bergantian membacakan pertimbangan hukum Mahkamah. Hakim Konstitusi Enny menyebutkan KUHAP hanya menyatakan keahlian khusus terkait kemampuan akan pengetahuan yang secara spesifik dimiliki karena pendidikan atau pengalaman kerjanya. Sebab ahli pada dasarnya dibutuhkan dalam setiap proses persidangan tidak terkecuali perkara pidana untuk membuat terang suatu peristiwa hukum tertentu. Seorang ahli mesti memiliki kriteria atau validitas tertentu agar keterangan yang disampaikannya objektif dan tidak memihak serta memiliki integritas tinggi. Sehingga keterangannya tidak dapat dipengaruhi oleh pihak yang memintanya sebagai ahli dan dapat pula dipertanggungjawabkan kepada bangsa dan negara serta Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, ahli diberikan kebebasan untuk berpendapat sesuai dengan keahliannya namun tidak dalam konteks menyampaikan fakta. Sehingga keterangan ahli tidak ada relevansinya dengan keterdesakan atau perasaan terancam seperti yang dirasakan oleh saksi, korban, dan pelapor dalam suatu perkara pidana.
Berpedoman pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keterangan ahli memiliki nilai pembuktian yang besar atau tidak mengikat hakim untuk memakainya sebagai bahan pertimbangan. Jadi, keterangan ahli lebih bersifat sebagai alat bantu yang positif dan konstruktif bagi hakim untuk menentukan kebenaran terhadap suatu perkara. Esensi dari Pasal 10 ayat (1) UU PSK, sambung Enny, adalah menegaskan perlindungan terhadap saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor agar tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian yang akan, sedang, dan telah diberikan, kecuali hal tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
“Oleh karena itu, apabila norma Pasal 10 ayat (1) UU PSK diubah dengan menyisipkan kata “ahli” sebagaimana dimintakan Pemohon, maka hal tersebut justru akan merusak sistematika dan substansi pokok dalam norma tersebut yang berkaitan dengan pasal-pasal lainnya dalam UU PSK,” sebut Enny terhadap permohonan Pemohon yang mengujikan Pasal 10 ayat (1) UU PSK dan Penjelasannya.
Lebih lanjut Enny menyebutkan berkaitan dengan permohonan Pemohon telah diakomodir dalam Konsiderans Menimbang huruf b UU PSK yang menyatakan, “Untuk meningkatkan upaya pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana transnasional yang terorganisasi, perlu juga diberikan perlindungan terhadap saksi pelaku, pelapor, dan ahli.” Kemudian hal ini juga telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU PSK.
Ahli Harus Dilindungi
Sementara itu terhadap putusan ini, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memiliki pendapat berbeda. Menurut Manahan perlindungan terhadap ahli telah diatur dalam beberapa pasal dalam UU PSK, seperti Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (3) yang pada pokoknya mengakui perlindungan terhadap ahli. Namun dalam Pasal 10 UU PSK terjadi inkonsistensi norma perlindungan terhadap ahli karena tidak dicantumkan sebagai subjek yang mendapatkan perlindungan dari tuntutan hukum pidana dan perdata.
“Oleh karena itu, sudah sepatutnya perlindungan terhadap ahli dari tuntutan hukum, baik pidana maupun perdata termasuk dalam lingkup pasal ini untuk menegaskan konsistensi dan koherensi norma pada semangat perlindungan terhadap saksi, korban dan ahli,” kata Manahan.
Berikutnya Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyebutkan subjek hukum pada UU PSK harus diperluas selaras dengan perkembangan hukum di masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada Penjelasan Umum UU PSK dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Pasal 9 ayat (1) huruf d angka 2. Maka tidak adanya norma “ahli” dalam Pasal 10 UU PSK perlu ditelusuri lebih jauh dengan mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR untuk mengetahui original intent dari norma tersebut. Sebab, jelas Guntur, jika berdasarkan pada konsideran menimbang dan Penjelasan Umum norma a quo dan Pasal 28 ayat (3) UU PSK yang terlah memberikan perlindungan kepada ahli oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Maka ahli pun seharusnya tidak dapat dituntut secara hukum sehingga posisi “ahli” dalam norm aini sejatinya bersifat melengkapi dan menyelaraskan norma perlindungan terhadap ahli,” ucap Guntur saat membacakan pernyataan putusan.
Baca juga:
Perlindungan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana
Pakar Hukum Pidana Perkuat Alasan Uji UU PSK
Sebagai tambahan informasi, Pemohon dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (21/11/2022) menngatakan, norma Pasal 10 ayat (1) UU PSK dan Penjelasannya tersebut tidak pasti, tidak adil, dan diskriminatif karena hanya memberikan perlindungan hukum untuk tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata kepada saksi, korban, saksi pelaku dan/atau pelapor yang memberikan kesaksian atau laporan. Namun tidak memberikan perlindungan hukum untuk tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata kepada seorang ahli yang memberikan keterangan dalam perkara pidana. Sebab, sewaktu-waktu dapat saja dituntut atas keterangan sebagai ahli pada tingkat penyidikan.
Padahal menurut Pemohon, keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti yang dapat digunakan dalam proses pembuktian di persidangan. Dalam perkara pidana, keterangan ahli memiliki kedudukan yang sama dengan alat bukti lainnya sebagaimana dimaksudkan Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.