JAKARTA, HUMAS MKRI – Perlindungan terhadap pekerja rumahan telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, di antaranya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional. Demikian pertimbangan Hukum Mahkamah untuk Putusan Nomor 75/PUU-XX/2022 yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul. Sidang pengucapan untuk putusan tersebut digelar pada Selasa (31/1/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Sebelumnya, lima pekerja rumahan yang terdiri dari Muhayati (Pemohon I), Een Sunarsih (Pemohon II), Dewiyah (Pemohon III), Kurniyah (Pemohon IV), Sumini (Pemohon V) mengajukan uji materiil Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan).
Lebih lanjut, Manahan menyebutkan Pemerintah atau Kementerian yang menangani urusan ketenagakerjaan seharusnya dapat membuat aturan khusus bagi pekerja rumahan, yang dapat diwujudkan melalui peraturan daerah. Sehingga hak-hak pekerja rumahan dapat terlindungi secara baik dan kesejahteraannya juga dapat terjaga sesuai dengan kondisi masing-masing daerah.
Pengaturan demikian, sambung Manahan, perlu dilakukan karena pekerja rumahan memiliki karakteristik yang berbeda dengan pekerja formil. Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Sehingga tugas dan tanggung jawab negara terhadap pekerja rumahan dapat dilakukan dengan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
“Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, ketentuan norma Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan yang diujikan pada perkara ini tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan diskriminasi, ketidaksamaan kedudukan hukum, dan tidak menyebabkan hilangnya hak-hak dasar pekerja atas perlindungan yang layak sebagaimana dijamin Pasal 27 ayat 1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ucap Manahan.
Baca juga:
Lima Pekerja Rumahan Uji UU Ketenagakerjaan
Pekerja Rumahan Penguji UU Tenaker Perbaiki Permohonan
Hubungan Kerja Pekerja Rumahan dan Umum Seharusnya Sama
Dua Pendamping Pekerja Kisahkan Potret Kerentanan Pekerja Rumahan
Perjanjian Hubungan Kerja
Selanjutnya, terkait dalil Pemohon mengenai hubungan kerja yang terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan, Mahkamah berpendapat norma tersebut sejatinya direkonstruksi untuk mengatur hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja yang mengacu pada perjanjian kerya yang dibuat secara tertulis. Di dalam perjanjian tersebut memuat hak dan kewajiban kedua belah pihak. Selain itu, pada norma tersebut juga mengatur secara detail ketentuan hal-hal yang harus ada dalam sebuah perjanjian kerja yang sekurang-kurangnya memuat nama, alamat perusahaan, jenis usaha, besarnya upah, dan lainnya. Oleh karenanya, Mahkamah menilai UU Ketenagakerjaan hadir untuk menjamin hak dasar pekerja untuk mewujudkan pekerja dengan tetap memerhatikan kebutuhan dan kemajuan dunia usaha. Bahwa sehubungan dengan dalil Pemohon tentang definisi hubungan kerja yang diatur dalam norma tersebut telah menimbulkan kerancuan hukum, maka Mahkamah telah memberikan gambaran jelas terhadap unsur yang wajib ada pada sebuah perjanjian kerja. Sehingga kekhawatiran Pemohon pada permohonan perkara ini tidak tepat dihilangkan hanya dengan cara menyisipkan frasa ‘pemberi kerja’ dalam norma Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan.
Selain itu Mahkamah berpendapat pasal a quo juga dikonstruksikan untuk mengatur hubungan kerja dan pekerja yang mengacu pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis. Dengan demikian dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. “Berdasarkan penilaian dan fakta hukum, amar putusan mengadili menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman.
Dalam permohonannya, para Pemohon menyebutkan pihaknya merupakan pekerja rumahan yang secara individu bekerja di rumah atau tidak berada di lingkungan perusahaan. Pada satu kesempatan mereka mendapat perintah kerja dari seorang perantara selaku pemberi kerja untuk melakukan suatu pekerjaan berupa produk barang/jasa. Pada 2017, para Pemohon pernah melakukan audiensi ke Kementerian Ketenagakerjaan untuk mempertanyakan status perlindungan hukum pekerja rumahan sebagai pekerja dan status hubungan kerja berdasarkan UU Ketenagakerjaan. Namun pihak Kementerian Ketenagakerjaan memberikan tanggapan, tidak ada istilah pekerja rumahan dalam UU Ketenagakerjaan. Jika merujuk definisi pekerja pada UU Ketenagakerjaan, sejatinya pekerja rumahan dapat dikategorikan sebagai pekerja, namun kenyataan di lapangan justru dianggap sebagai pekerja yang berada di luar hubungan kerja. Kementerian Ketenagakerjaan berpandangan, karakteristik pekerja rumahan tidak memenuhi unsur-unsur persyaratan untuk menjadi pekerja yang berada dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu menurut Pemohon, Undang-Undang Ketenagakerjaan belum dapat memberikan perlindungan hukum kepada pekerja rumahan.
Untuk itu, dalam petitum para Pemohon meminta agar Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hubungan kerja adalah hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja/buruh yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Serta menyatakan Pasal 50 Undang-Undang Ketenagakerjaan tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pemberi kerja dan pekerja/buruh”. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim