JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) pada Senin (30/1/2023). Agenda sidang yaitu pemeriksaan perbaikan permohonan Nomor 2/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Edi Damansyah, Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) periode 2021-2026.
Adapun norma yang diajukan untuk diuji adalah Pasal 7 Ayat (2) huruf n UU Pilkada yang menyatakan, “belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota”.
Edi Damansyah (Pemohon) secara faktual pernah “menjabat” sebagai Plt. Bupati Kukar pada 2016-2021, kemudian dilanjutkan sebagai Bupati Definitif pada 2016-2021. Setelah itu, untuk periode 2021-2024, menjabat sebagai bupati yang terpilih melalui pemilihan langsung.
Sidang panel dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Kuasa hukum Pemohon, Muhammad Nursal yang hadir secara daring dalam persidangan menyebutkan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan arahan, saran dari panel hakim pada sidang sebelumnya.
“Yang pertama pada bagian kewenangan itu kami hapus semua contoh-contoh putusan yang berkaitan dengan pengujian. Kami hanya memasukkan dua contoh putusan saja. Kemudian, dasar pengujian yang awalnya lima pasal itu kami sederhanakan mejadi tiga pasal,” urainya.
Lebih lanjut Nursal mengatakan, pada kedudukan hukum, tabel perbandingan putusan MK yang sebelumnya disampaikan dengan substansi pasal ini dihapuskan. Kemudian pada bagian pokok perkara dinarasikan dengan lebih sederhana dibandingkan permohonan sebelum perbaikan. Ia menarasikan kata “menjabat” dan “jabatan” di halaman 16. Kata “menjabat” itu kata kerja dan orang yang menjabat itu disebut dengan “pejabat”.
“Makanya dalam literatur yang kami kutip itu dalam literatur maupun administrasi yang banyak dibahas itu adalah nomenklatur pejabat. Kami kutip di pokok perkara pendekatan teoritik melalui pendapat Harun Alrasyid yang pada pokoknya menyatakan pejabat itu adalah genus atau umum. Pejabat terdiri dari tiga jenis, yang pertama pejabat tetap, kedua pejabat sementara untuk mengisi pejabat tetap yang sementara, dan ketiga pejabat yang mengisi jabatan yang lowong,” terang Nursal.
Baca juga:
Bupati Kutai Kartanegara Uji Frasa “Menjabat” dalam UU Pilkada
Sebagai tambahan informasi, permohonan perkarav Nomor 2/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Edi Damansyah, Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) periode 2021-2026. Pada sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar pada Senin (16/1/2023), Edi Damansyah (Pemohon) yang diwakili kuasanya, Muhammad Nursal, mengatakan Pemohon kehilangan hak konstitusional yang dberikan oleh UU dalam memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pemohon mempersoalkan hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak tegas dan tidak konkretnya suatu undang-undang yaitu Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada karena terdapat keadaan kekaburan norma yang dapat menyebabkan terjadinya diskriminasi karena pemahaman dan pemaknaan yang berbeda.
Masa Jabatan Kepala Daerah
Menurut Pemohon, Pasal 7 Ayat (2) huruf n UU Pilkada dapat dimaknai bahwa Pemohon telah melalui masa jabatan Bupati selama dua periode berturut-turut dari 2016 – 2021 dan dari 2021 – 2026. Berdasarkan UU Pilkada dapat dimaknai Pemohon telah terhitung selama satu periode pada tahap pertama (2016 – 2021) karena lebih dari 2,5 tahun menjabat sebagai Plt dan definitif sebagai Bupati (dihitung sekaligus 2 tahun, 10 bulan, 12 hari). Kemudian pada tahap jabatan Bupati yang kedua (2021 – 2026/2024) juga telah terhitung satu periode, karena telah melalui masa jabatan 4 atau 5 tahun.
“Sehubungan dengan permohonan Pemohon dalam perkara ini, agar Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 untuk pembatasan masa jabatan kepala daerah selama 2 periode hanya berlaku pada pejabat kepala daerah definitif, tidak berlaku pada jabatan kepala daerah Plt, apakah menyimpang atau bertentangan dari prinsip dan tujuan pemilihan oleh rakyat yang berdasarkan pada asas demokrasi? Pada kenyataan tidak demikian, karena fungsi pembatasan dimaksud tetap hadir dan dapat dilaksanakan, meskipun hanya pada jabatan defenitif,” ujar Nursal.
Pemohon mengatakan, seorang wakil bupati dalam statusnya yang kemudian diangkat sebagai Plt Bupati, kemudian diangkat lagi sebagai Bupati definitif, akan tetap dapat memenuhi dua periode sebagaimana dimaksud dalam pasal a quo, sepanjang masa jabatan Bupati definitifnya memenuhi masa 2,5 tahun atau lebih. Tidak juga dalam keadaan tersebut, berpotensi akan tercipta pejabat kepala daerah seumur hidup, ataupun prinsip demokrasi menjadi pemerintahan yang berdasarkan pewarisan (keturunan), dikarenakan untuk jabatan Plt. Kepala daerah pun dapat dilakukan pembatasan untuk jabatan yang sama sebagai wakil kepala daerah dalam ihwal hendak mendaftar lagi sebagai calon wakil kepala daerah;
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan dan menyatakan Pasal 7 Ayat (2) huruf n UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang kata “menjabat” dinyatakan hanya berlaku untuk yang menjabat sebagai Bupati definitif dan tidak termasuk untuk yang menjabat sebagai Plt. Bupati.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.