JAKARTA, HUMAS MKRI – Sejak upaya kudeta tahun 2021 di Myanmar, militer telah meningkatkan kendalinya pada sistem peradilan. Para pengamat internasional yang memantau pengadilan Myanmar sepakat bahwa pada saat ini mustahil untuk mendapatkan peradilan yang adil, sepanjang penyiksaan dan perlakuan buruk sering kali dilakukan dan hak terhadap peradilan yang adil sering kali diabaikan.
Demikian disampaikan oleh mantan kepala juru bicara Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) dan Direktur Proyek Akuntabilitas Myanmar, Christopher Robert Paul Gunness saat menyampaikan keterangan sebagai ahli yang dihadirkan oleh Pemohon dalam sidang kedelapan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) pada Rabu (25/1/2023). Sidang untuk Perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Marzuki Darusman (Pemohon I), Muhammad Busyro Muqoddas (Pemohon II), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI/Pemohon III) ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Lebih lanjut dalam keterangan dengan bahasa Inggris yang dibantu Yuliana Tansil sebagai juru bahasa, Christopher menyebut sebelum upaya kudeta Februari 2021, sistem peradilan di Myanmar telah terdampak oleh persoalan struktural dan sistematis yang membuat akses terhadap peradilan yang adil sangat sulit bahkan mustahil bagi terdakwa. Korupsi yang mendarah daging sering kali menjadikan dilakukan penunjukan petugas-petugas militer yang tidak memiliki kualifikasi di bidang peradilan.
“Pemilu nasional Myanmar dimenangkan oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Pemilu di Myanmar pada November 2020 dianggap sebagai pemilu yang adil dan bebas. Tetapi militer Myanmar mempertanyakan atau mempertentangkan validitas dari hasil pemilu pada saat parlemen baru harusnya dilantik militer menahan pemimpin-pemimpin NLD dan lainnya,” ungkap Christopher.
Kontrol Militer
Dikatakan Christopher, tindakan mengkudeta presiden ini merupakan pelanggaran terhadap konstitusi Myanmar. Militer Myanmar (Tatmadaw) menggugat keabsahan hasil pemilu tanpa dasar. Pada 1 Februari 2021, ketika Parlemen baru akan dilantik, militer bergerak untuk menguasai negara dalam upaya kudeta, dengan menangkap para pemimpin utama NLD, termasuk Penasihat Negara, Daw Aung Sung Suu Kyi, dan Presiden Win Myint . Tatmadaw membentuk Dewan Tata Usaha Negara (SAC), yang bergerak untuk menguasai semua lembaga negara termasuk sistem peradilan.
Menurutnya, seminggu setelah kudeta, SAC mencopot empat hakim petahana dari Mahkamah Agung Union dan mengangkat tiga hakim baru. Sekarang hanya menyisakan satu hakim pra-kudeta. Semua kecuali satu hakim yang memiliki latar belakang militer atau diangkat oleh militer. Kontrol militer atas Mahkamah Agung memperkuat kontrolnya atas pengadilan pada tingkat yang lebih rendah, karena Mahkamah Agung memiliki kontrol atas pengangkatan, promosi, dan pemindahan hakim tingkat bawah. Selain mengendalikan pengadilan, SAC juga mengambil alih Kantor Kejaksaan Agung, dan Departemen Administrasi Hukum Umum di Myanmar.
“Undang-undang yang mengamendemen Hukum Acara Pidana, UU 6/2021 diberlakukan oleh SAC pada 14 Februari 2021. Kedua legislasi ini memperluas cakupan tindak pidana dengan memasukkan juga pengkhianatan tingkat tinggi, penghasutan dan kritik terhadap militer khususnya Pasal 505 dan meningkatkan hukumannya. Perluasan hukuman bersama-sama dengan dakwaan di bawah UU Terorisme digunakan untuk mendakwa oposisi orang-orang yang protes dan siapa pun yang juga mempublikasikan materi termasuk jurnalis dan rakyat yang mempublikasikan di media sosial dan Pasal 505 adalah dakwaan yang paling banyak digunakan, yang mengkriminalisasi upaya untuk menimbulkan ketakutan, menyebarkan berita palsu, dan menghasut secara langsung atau tidak langsung tindak pidana terhadap pegawai Pemerintah. Tidak diperlukan adanya perintah pengadilan untuk penahanan berdasarkan Pasal 505 dan ini dapat dihukum hingga 3 tahun penjara. Karena ketentuan tersebut dirancang secara luas, Pasal 505 ini sering digunakan untuk merespons berbagai kegiatan yang dianggap bertentangan dengan kepentingan rezim,” sebutnya.
Selain itu ia menjelaskan, semua aspek sistem berada di bawah kendali militer, dan sistem peradilan digunakan sebagai alat oleh rezim untuk mengadili lawan politiknya. Mereka yang ditangkap karena pelanggaran terhadap rezim adalah secara rutin disiksa dan diperlakukan dengan buruk, dan ditahan dalam kondisi yang tidak manusiawi di dalam tahanan. Mereka ditolak akses yang memadai ke pengacara dan anggota keluarga, dan tidak diberikan proses hukum di pengadilan.
Yurisdiksi Universal Kejahatan Internasional
Ahli berikutnya yang dihadirkan Pemohon yakni Maximo Langer. Dalam keterangan yang juga disampaikan secara daring dalam persidangan, Maximo mengatakan masyarakat Internasional telah bereaksi terkait dengan telah dilakukannya kejahatan Internasional dengan membentuk berbagai mekanisme Internasional.
Menurut Maximo yurisdiksi universal merupakan dasar dari banyak penuntutan lintas batas untuk kejahatan internasional termasuk kegiatan Internasional, Genosida dan pemeriksaan perang. Berdasarkan prinsip yurisdiksi universal, negara mana pun juga menuntut memberikan hukuman terhadap kejahatan-kejahatan tertentu walaupun negara tersebut tidak lagi memiliki keterkaitan teritorial dan kepentingan nasional dan tidak terkait dengan warga negaranya dengan kejahatan pada kejahatan tersebut dilakukan.
“Dan subyek kejahatan ini juga termasuk di antaranya kejahatan kemanusiaan, genosida, penyiksaan dan kejahatan perang. Berdasarkan berbagai konvensi internasional termasuk konvensi penyiksaan dan konvensi Genewa dimana Indonesia merupakan salah satu dari negara pihak dari konvensi-konvensi tersebut,” terang Maximo.
Baca juga:
Menembus Batas Teritorial Pengadilan HAM
AJI Perbaiki Kedudukan Hukum dalam Uji UU Pengadilan HAM
Kuasa Presiden Minta Sidang Uji UU Pengadilan HAM Ditunda
Pandangan DPR Soal Pengadilan Pelaku Pelanggaran HAM Berat
Sidang Uji UU Pengadilan HAM Ditunda
Tanggung Jawab Negara dalam Perkara Pelanggaran HAM Berat
Konstitusi Indonesia Melindungi HAM Setiap Orang Termasuk WNA
Untuk diketahui, permohonan Nomor 89/PUU-XX/2022 dalam perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) diajukan oleh Marzuki Darusman, Muhammad Busyro Muqoddas, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Senin (26/09/2022), para Pemohon menyebutkan frasa “… oleh warga negara Indonesia” Pasal 5 UU Pengadilan HAM menghapus tanggung jawab negara dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Selain itu, frasa tersebut juga menghilangkan prinsip tanggung jawab negara di daerah‑daerah yang pelaku kejahatannya melibatkan negara.
Myanmar hingga saat ini masih mengalami situasi politik yang tidak pasti akibat pemberlakuan keadaan darurat oleh pihak militer. Tragedi kemanusiaan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pun terus terjadi di Myanmar.
Dengan adanya pembatasan pada Pasal 5 UU Pengadilan HAM tersebut, maka sulit bagi para korban pelanggaran HAM untuk memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. Sebab menurut para Pemohon, Myanmar tidak menjadi bagian dari International Criminal Court karena tidak turut menandatangani Statuta Roma. Sehingga tidak mungkin negara dengan kekuasaan seperti junta militer mendirikan pengadilan HAM untuk mengadili para pejabatnya yang terlibat pelanggaran HAM. Oleh karena terjadi kekosongan hukum untuk menindaklanjuti pelaku pelanggaran HAM berat di Kawasan Asia tersebut, diperlukan suatu cara untuk melindungi warga negara—tidak saja di Myanmar, tetapi juga di ASEAN secara keseluruhan untuk bisa mengemban hak-hak membela diri secara pribadi.
Untuk itu, dalam petitum para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan frasa “oleh warga Negara Indonesia” yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945,” pinta Feri Amsari selaku kuasa hukum para Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK, Senin (26/09/2022).
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.