JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan dari pengujian ketentuan Pasal 433 ayat (3), Pasal 434 ayat (2), dan Pasal 509 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 pada Rabu (25/1/2023). Sidang panel untuk Perkara Nomor 1/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak yang berprofesi sebagai advokat ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan anggota panel Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Zico menyebutkan perbaikan yang telah dilakukan di antaranya menambahkan kewenangan MK dalam pengujian perkara ini. Menurutnya, MK sebaiknya berpedoman pada pandangan mutlak sebagai pelindung hak konstitusional. Dengan demikian MK berhak menguji KUHP Lama dan Baru selama ada warga negara yang terdampak atas keberlakuan norma tersebut. “Apakah perlu harus ada korban dulu, baru KUHP Baru dapat diuji di MK atau orang lain harus dipidanakan terlebih dahulu baru bisa diuji ke MK. Jika demikian untuk apa ada pengujian undang-undang jika ada yang terdampak meski pasal-pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional. Mengutip pernyataan Menteri Hukum dan HAM, penundaan selama 3 tahun dilakukan untuk sosialisasi dari KUHP Baru. Oleh karenanya sejak sekarang MK sudah mengadili pasal-pasal di KUHP Baru,” kata Zico.
Selanjutnya Rustina Haryati selaku kuasa hukum Zico menyambung tentang posita dengan memberikan ilustrasi terhadap Perkara Nomor 46/PUU-XVI/2016. Kuasa hukum Zico berikutnya, Angela Claresta Foek, membacakan petitum. “Satu, menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Dua, menyatakan Pasal 433 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum, terpaksa membela diri, atau merupakan penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan. Tiga, Menyatakan secara mutatis mutandis angka 2 di atas berlaku juga terhadap Pasal 434 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 4. Menyatakan Pasal 509 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono),” sebut Angela.
Baca juga:
Seorang Advokat Uji Norma Pencemaran Nama Baik dalam KUHP Terbaru
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 1/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diajukan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak. Adapun materi yang dimohonkan pengujian yaitu Pasal 433 ayat (3), Pasal 434 ayat (2), dan Pasal 509 huruf a dan b KUHP terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Zico yang berprofesi sebagai advokat dalam permohonannya mengisahkan kejadian yang pernah dialaminya pada 2019, saat ia masih berstatus mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia digugat oleh Grab Indonesia hingga tingkat kasasi atas pencemaran nama baik. Kejadian tersebut mendorong Zico untuk mengujikan ketentuan dalam KUHP tersebut ke MK.
Pasal 433 ayat (3) KUHP menyatakan, “Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.”
Pasal 434 ayat (2) KUHP menyatakan, “Pembuktian kebenaran tuduhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat dilakukan dalam hal a. hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran tuduhan tersebut guna mempertimbangkan keterangan terdakwa bahwa terdakwa melakukan perbuatan tersebut untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri; atau b. pejabat dituduh melakukan sesuatu hal dalam menjalankan tugas jabatannya.”
Pasal 509 huruf a dan b KUHP menyatakan, “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III: a. advokat yang memasukkan atau meminta memasukkan dalam surat gugatan atau permohonan cerai atau permohonan palilit, keterangan tentang tempat tinggal atau kediaman tergugat atau debitur, padahal diketahui atau patut diduga bahwa keterangan tersebut bertentangan dengan keadaan sebenarnya; b. suami atau istri yang mengajukan gugatan atau permohonan cerai yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat sebagaimana dimaksud dalam huruf a: atau c. kreditur yang mengajukan permohonan pailit yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat sebagaimana dimaksud dalam huruf a.”
Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Kamis (12/1/2023) Zico (Pemohon) melalui kuasa hukum Rustina Haryati menjelaskan, pada Agustus 2019, Grab Indonesia mengadakan tantangan (challenge) yang berhasil diselesaikan Zico untuk mendapatkan reward sebesar satu juta rupiah. Namun, reward tersebut tidak didapatkan Pemohon. Pemohon tetap beritikad balk berkomunikasi dengan Grab. Pihak Grab hanya terus berjanji akan memberikan reward, namun reward tetap tidak diberikan.
Selanjutnya, pada Selasa, 3 September 2019, Zico memasukkan berkas gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan tersebut diliput oleh media, bahkan media berusaha mengkonfirmasi kepada Grab Indonesia, namun tidak ada jawaban. Esoknya, Rabu 4 September 2019, Grab tiba-tiba memberikan reward tersebut ke akun grab Zico.
Sejak itu, Zico tidak mengajukan upaya hukum apa pun lagi. Namun tiba-tiba pada 5 Februari 2020, Zico mendapat somasi dari Grab Indonesia melalui kuasa hukum mereka, Rajamada & Partners. Isi dari somasi tersebut mengklaim Zico telah merusak nama baik Grab dan meminta ganti rugi Satu Milyar Rupiah.
Zico tidak mengindahkan somasi tersebut. Kemudian tiba-tiba ia digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 10 Maret 2020 dengan nomor perkara 191/Pdt.G/2020/PN Jkt.Brt. Isi gugatan tersebut sama seperti somasi, mengklaim Zico merusak nama baik Grab dan mereka meminta ganti rugi sebesar lima ratus juta rupiah, dimana nominal tersebut adalah biaya yang keluar untuk honorarium jasa advokat bagi pengacara Grab, yakni Lawfirm Rajamada & Partners.
Di tingkat pengadilan negeri, gugatan mereka ditolak. Begitu pula di tingkat Banding, ditolak juga. Mereka pun mengajukan kasasi. Putusan kasasi pada 6 Desember 2022 menyatakan gugatan mereka ditolak. Akhir perkara ini menunjukkan bahwa Pemohon adalah warga negara paham hukum yang beritikad baik, namun dituduh mencemarkan nama balk oleh perusahaan besar.
Saat ini, jelas Rustina, Pemohon tidak khawatir seandainya pun pihak perusahaan tersebut menempuh jalur pidana menggunakan UU ITE. Sebab telah ada Surat Keputusan Bersama UU ITE antara Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI, dan Kepala Kepolisian NRI. Namun keberadaan KUHP terbaru mencabut Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan pasal terbaru hanya menyatakan “tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.”
“Artinya hal ini berpotensi bahwa Pemohon tidak mendapatkan perlindungan hukum yang adil, karena berpotensi dilaporkan ke polisi, harus menghadapi panggilan polisi, harus diperiksa polisi, padahal Pemohon dalam hal ini tidak bersalah apapun,” jelas Rustina.
Zico dalam petitiumnya memohon MK menyatakan Pasal 433 ayat (3) KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum, terpaksa membela diri, atau merupakan penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan.” Hal ini mutatis mutandis berlaku juga untuk Pasal 433 ayat (2) KUHP. Kemudian menyatakan Pasal 509 huruf a dan b KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.