JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar persidangan Pemeriksaan Pendahuluan Pengujian Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Kamis (19/1/2023). Sidang permohonan perkara Nomor 4/PUUXXI/2023 ini diajukan oleh Herifuddin Daulay.
Dalam sidang yang digelar secara daring Herifuddin Daulay menyampaikan bahwa ia merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya norma Pasal 7 UUD 1945 mengenai adanya pembatasan pribadi jabatan Presiden hanya boleh mendaftar dan atau terpilih untuk 2 (dua) kali masa jabatan.
“Kerugian tersebut berdasarkan anggapan Pemohon bahwa orang yang kompeten untuk jabatan Presiden hanya sedikit, sehingga pembatasan tersebut akan mengakibatkan pemimpin yang terpilih adalah orang yang tidak berkompeten,” terang Herifuddin di hadapan Ketua Panel Hakim Saldi Isra.
Selanjutnya Pemohon menilai, terdapat kesalahan dalam teks Pasal 7 UUD 1945 tentang jabatan Presiden, baik kesalahan karena penulisan teks atau kesalahan dalam memahami teks. Kesalahan secara implisit mengandung makna “bila” yaitu terkandung makna “Kondisional bersyarat”.
Menurut Pemohon, kesalahan dimaksud karena teks mengambang dalam pengertiannya. Dengan makna “kondisional bersyarat” tersebut maka diperlukan peraturan tambahan untuk menguatkan maksud dari norma dimaksud, sehingga secara keseluruhan makna utuh dari Pasal 7 UUD 1945 adalah hanya diutamakan untuk ditetapkan 2 (dua) kali masa periode dan jika diinginkan, melalui pembiaran atau keputusan peradilan konstitusi yaitu oleh Mahkamah Konstitusi.
Adapun peraturan tambahan berupa Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i pada UU Pemilu menurut Pemohon menjadi pokok dasar dari adanya pembatasan pribadi jabatan calon Presiden dan atau Wakil Presiden untuk menjabat lebih dari 2 (dua) kali masa jabatan baik secara berturut-turut maupun berselang. Sehingga, Pemohon berpendapat bahwa pembatasan jabatan Presiden justru lebih besar mudarat ketimbang manfaatnya sehingga norma yang mengatur pembatasan jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang hanya 2 (dua) kali masa jabatan harus dihapus. Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan untuk menyatakan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan pemohon untuk melihat permohonan-permohonan yang telah dikabulkan oleh MK. Selain itu, Wahiduddin juga meminta Pemohon menjelaskan kedudukan hukumnya dalam mengajukan permohonan. “Setelah diuraikan aturan-aturannya dan saudara menjelaskan kerugian konstitusi yang dialami saudara. Di alasan permohonan terlalu banyak karena menyebutkan satu persatu. Terlebih lagi pada alasan permohonan itu saudara seolah-olah tidak menguji UU tetapi UUD ini. Justru yang saudara harus kemukakan itu dasar pengujiannya pasal mana dipertentangkan dengan pasal UUD 1945,” kata Wahiduddin saat memberikan saran perbaikan.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan pemohon untuk menguraikan kedudukan hukumnya. “Kaitannya dengan bapak sebagai perorangan warga negara pembayar pajak mempunyai hak pilih beragumentasi mempunyai kerugian konstitusional terhadao syarat yang ada di Pasal 7 di mana, itu yang harus dijelaskan,” terang Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan Hakim Konstitusi Saldi Isra menyampaikan pemohon diberi waktu14 hari untuk memperbaiki permohonannya. “Artinya bahwa perbaikan permohonan disampaikan ke MK paling lambat Rabu 1 Februari 2023 pukul 11.00 WIB,” ucap Saldi.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.