JAKARTA, HUMAS MKRI – Dua orang ahli dari India dan Hungaria dihadirkan oleh Pemohon dalam sidang pengujian materiil Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap UUD 1945 yang digelar pada (18/1/2023) secara daring di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perkara Nomor 93/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi. Dua ahli dimaksud yakni Bhargavi Venkatasubmaniam Davar yang merupakan Executive Director dari Transforming Communities for Inclusion Global (TCI), dan Steven Allen Executive Director Validity Foundation.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, Steven Allen menjelaskan semua sistem pengampuan melibatkan pembatasan atau penanggalan hak-hak hukum penyandang disabilitas yang mengurangi kemungkinan penyandang disabilitas untuk menggunakan atau melakukan keseluruhan dari rasa manusianya. Pengampuan menanggalkan hak pembuatan kebijakan dari penyandang disabilitas dan memberikanya pada pengganti pengambil keputusan. Pengampuan biasanya diberikan kepada anggota keluarga lainnya di beberapa yurisdiksi.
Prinsip yang mendasari dari sistem pengampuan sebenarnya tidak bermaksud untuk merugikan tetapi berdasarkan konsep untuk melindungi kepentingan yang terbaik. “Akan tetapi, sesuai dengan pepatah, biasanya semua jalan menuju ke neraka itu dibangun berdasar niat baik dan biasanya sistem pengampuan ini mengakibatkan adanya penyalahgunaan dan eksploitasi di semua bidang kehidupan. Karena hak kapasitas hukum merupakan gerbang untuk menggunakan hak asasi manusia lainnya,” kata Steven Allen yang menyampaikan keterangan dengan bahasa Inggris dibantu Yuliana Tansil sebagai juru bahasa.
Selain itu, yang lebih penting lagi bagi pengadilan ini, pembatasan kapasitas hukum itu sendiri menciptakan hambatan untuk mengakses keadilan, untuk mengajukan gugatan terhadap hak asasi manusia. “Kapasitas hukum bersifat universal dan tidak boleh dibatasi berdasarkan disabilitas dan hak-hak disabilitas mengatakan bahwa negara-negara pihak saat ini berkewajiban untuk menghapuskan prinsip ini dan mereka harus menggantikannya dengan sistem yang memberikan dukungan bagi orang-orang untuk menggunakan hak-hak dengan kapasitas hukumnya,” lanjut Steven.
Menurutnya, pengampuan membuat orang-orang ditanggalkan hak sipil dan politiknya dan hak untuk berpartisipasi dalam pemilu yang bebas dan ini juga sudah dilihat dan didengarkan di berbagai Mahkamah Agung dan MK seluruh dunia. “Pengampuan secara keseluruhan merupakan pelanggaran yang sangat berat terhadap konstitusi,” terangnya.
Pengampuan Bersifat Diskriminatif
Sementara Bhargavi yang merupakan pimpinan salah satu organisasi yang mewakili penyandang disabilitas psikososial di seluruh dunia menyebutkan bidang keahliannya terkait dengan kompensi hak-hak penyandang disabilitas. “Kami melakukan komunikasi yang intensif antar anggota dan selalu berusaha untuk mengikuti perkembangan dan ilmu pengetahuan terbaru dan terinspirasi oleh konvensi dan hak untuk tinggal di masyarakat,” ujarnya dengan penuturan bahasa Inggris yang juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yuliana Tansil sebagai juru bahasa.
Lebih lanjut ia menjelaskan banyak dokumen-dokumen penting Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang telah diterbitkan sejak keluarnya konvensi yang meminta pemerintah dan pembuat kebijakan untuk mengubah undang-undang yang memberikan pedoman mengenai informasi hukum terkait hambatan di masyarakat. “Kami merupakan perwakilan dari suara para disabilitas piskososial secara global. Dan kami membawa pesan utama bahwa pertama dan utama kami adalah manusia dan sifat kami sebagai manusia harus diakui di semua UU kebijakan program dan praktik,” terang Bhargavi.
Ia menyebut, pengadilan di seluruh dunia sedang memperdebatkan untuk mengeluarkan yurisprudensi mengenai sifat manusia dari bentuk-bentuk kehidupan non manusia. Menurutnya, hal itu merupakan satu kewajiban moral yang ditekankan berulang kali pada konvensi bahwa penyandang disabilitas utamanya dan pertamanya adalah manusia.
Bhargavi menegaskan, disabilitas sosial dalam hal ini sangat luas termasuk orang-orang autisme dan orang-orang kesulitan belajar, orang-orang yang ditolak oleh masyarakat. Kelompok orang-orang disabilitas ini telah dipermalukan, dan secara historis telah diabaikan dan diskriminasi dan terus menerus menghadapi ancaman terhadap kebebasan dan kehidupan mereka dan sering kali hak-hak mereka ditanggalkan.
Selain itu ia juga mengatakan, terdapat kelompok tertentu yang menjadi korban dari ketentuan seperti ini adalah terutama perempuan, orang-orang tua, orang-orang yang dianggap tidak waras dan sebagainya. “Pengampuan bersifat diskriminatif dan tidak melindungi siapa pun juga dan digunakan untuk menangkalkan sumber daya hingga membuat mereka mati secara perdata. Ini seperti memasung mereka secara hukum sama seperti memasung secara fisik,” tegas Bhargavi.
Baca juga:
Menghapus Stigma Penyandang Disabilitas Mental dalam KUHPerdata
Permohon Perbaiki Uji Stigmatisasi Penyandang Disabilitas Mental
DPR Bahas Definisi Pengampuan dalam KUHPerdata
Penentuan Tindakan Pengampuan Tergantung pada Hakim
Ahli: Pengampuan Bukan Lagi Perlindungan
Sebagai informasi, permohonan Nomor 93/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian materiil Pasal 433 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap UUD 1945 diajukan oleh Yayasan Indonesian Mental Health Association (IMHA), Syaiful Anam, dan Nurhayati Ratna Saridewi. Pasal 433 KUHPerdata menyatakan, “Setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, bahkan ketika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya”.
Kuasa hukum para Pemohon, Anang Zubaidy dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (26/9/2022) secara daring mengatakan Pasal 433 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 berkaitan dengan pengakuan dan persamaan di hadapan hukum dan asas kepastian hukum yang adil. Pasal tersebut menjadikan keadaan disabilitas dalam hal ini dungu, mata gelap sebagai alasan untuk menyangkal kapasitas hukum disabilitas mental. Sehingga yang bersangkutan tidak mendapatkan hak untuk diakui dan diperlakukan sama di hadapan hukum.
Selain itu, sambung Anang, Pasal 433 KUH Pedata sesungguhnya telah mengakui bahwa gangguan kejiwaan dapat bersifat episodic yakni dengan adanya pencantuman frasa sekalipun kadang cakap mempergunakan pikirannya. Namun Pasal 433 KUHPerdata menyamaratakan antara kondisi episodik dengan orang yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila, mata gelap dan atau keborosan. Padahal, tidak semua penyandang disabilitas mental memiliki gangguan psikis yang bersifat permanen sebagai contoh skizofrenia yang merupakan permasalahan kejiwaan yang episodic bukan menetap, dikarenakan sifat episodic tersebut penyandang disabilitas mental tidak selalu berada dalam keadaan yang disebut tidak mampu berpikir atau berbuat rasional.
Para Pemohon dalam permohonan juga menyoroti pengobatan dengan menggunakan obat-obatan psikiatri yang fundamental bagi pemulihan kepada orang dengan gangguan jiwa masih belum ditemukan pada saat penyusunan KUHPerdata pada tahun 1830. Menurut Pemohon, pengampuan dalam pasal tersebut dapat diartikan sebagai keadaan seseorang yang dianggap tidak cakap atau dalam segala hal tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam lalu lintas Hukum. Atas dasar hal itu, orang tersebut dengan keputusan Hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak. Orang tersebut diberi wakil yang disebut pengampu. Pemohon menambahkan, menyamakan situasi dan posisi orang dengan gangguan jiwa pada abad ke-21 dibandingkan dengan situasi dan kondisi pada abad ke-19 sudah tidak relevan.
Oleh karena itu, dalam petitum para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 433 KUHPerdata tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “dungu, gila, mata gelap dan/atau keborosan” tidak dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.