JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) pada Senin (16/1/2023) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 2/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Edi Damansyah yang merupakan Bupati Kutai Kartanegara periode 2021-2026.
Adapun norma yang diajukan untuk diuji adalah UU Pilkada, yakni Pasal 7 Ayat (2) huruf n berbunyi “belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota”. Pemohon secara faktual pernah “menjabat” sebagai Plt. Bupati Kutai Kartanegara pada 2016-2021, kemudian dilanjutkan sebagai Bupati Definitif pada 2016-2021. Setelah itu untuk periode 2021-2024, menjabat sebagai bupati yang terpilih melalui pemilihan langsung.
Muhammad Nursal dalam persidangan secara daring yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebutkan, hak konstitusional yang dberikan oleh UU dalam memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan pemohon mempersoalkan hak konstitusional tersebut atas tidak tegas dan tidak konkritnya suatu undang-undang yaitu Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada karena terdapat keadaan kekaburan norma yang dapat menyebabkan terjadinya diskriminasi karena pemahaman dan pemaknaan yang berbeda.
“Pemohon dirugikan oleh berlakunya undang-undang frasa “Menjabat” dalam UU a quo, kemudian frasa menjabat dalam pertimbangan putusan nomor 2 tahun 2009 menurut anggapan pemohon frasa menjabat dalam pertimbangan adalah frasa yang bias, kabur, tidak jelas dan bermakna ganda karena dapat dimaknai oleh gubernur, bupati definitive dapat dimaknai sebagai pelaksana tugas,” jelas Nursal.
Menurut Nursal, Pemohon tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan kalau tidak dimaknai pembatasannya hanya untuk kepala daerah yang definitive. Argumentasi yang pertama, bupati atau kepala daerah juga menjadi angka perhitungan periodeisasi tentulah dalam hal ini tidak akan mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Masa Jabatan Kepala Daerah
Dalam permohonnya, Pemohon mengatakan, Pasal 7 Ayat (2) huruf n UU Pilkada dapat dimaknai bahwa Pemohon telah melalui masa jabatan Bupati selama dua periode berturut-turut dari 2016 – 2021 dan dari 2021 – 2026. Berdasarkan UU Pilkada dapat dimaknai Pemohon telah terhitung selama satu periode pada tahap pertama (2016 – 2021) karena lebih dari 2,5 tahun menjabat sebagai Plt dan definitif sebagai Bupati (dihitung sekaligus 2 tahun, 10 bulan, 12 hari). Kemudian pada tahap jabatan Bupati yang kedua (2021 – 2026/2024) juga telah terhitung satu periode, karena telah melalui masa jabatan 4 atau 5 tahun.
Menurut Pemohon, Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang dalam hal ini sebagai instrumen dalam menciptakan negara yang demokratis, maksud pembatasan masa jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada, selain mewujudkan tujuan pemilihan langsung agar terjadi sirkulasi elit pemerintahan, juga bertujuan untuk mencegah terjadinya kekuasaan yang menumpuk pada kelompok tertentu, lalu melahirkan pemerintahan yang korup. Terjadinya pembatasan masa jabatan pemerintahan, dalam hal ini berdasarkan Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada, adalah realisasi dari NKRI yang pemerintahannya berbentuk Republik (Pasal 1 ayat (1) UUD 1945), dengan tujuan utamanya untuk mengedepankan kepentingan umum, kesejahteraan rakyat, hajat hidup rakyat, maka diterapkanlah pengisian jabatan pemerintahan “demokrasi,” pemilihan oleh rakyat dengan karakter khasnya harus ada sirkulasi elit dalam pemerintahan, sebagai antitesa dari pemerintahan monarki yang menggunakan mekanisme pengisian jabatan berdasarkan sistem “pewarisan;”
“Sehubungan dengan permohonan Pemohon dalam perkara ini, agar Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 untuk pembatasan masa jabatan kepala daerah selama 2 periode hanya berlaku pada pejabat kepala daerah defenitif, tidak berlaku pada jabatan kepala daerah Plt; apakah menyimpang atau bertentangan dari prinsip dan tujuan pemilihan oleh rakyat yang berdasarkan pada asas demokrasi? Pada kenyataan tidak demikian, karena fungsi pembatasan dimaksud tetap hadir dan dapat dilaksanakan, meskipun hanya pada jabatan defenitif,” ujar Nursal.
Pemohon mengatakan, seorang wakil bupati dalam statusnya yang kemudian diangkat sebagai Plt Bupati, kemudian diangkat lagi sebagai Bupati defenitif, akan tetap dapat memenuhi dua periode sebagaimana dimaksud dalam pasal a quo, sepanjang masa jabatan Bupati defenitifnya memenuhi masa 2,5 tahun atau lebih. Tidak juga dalam keadaan tersebut, berpotensi akan tercipta pejabat kepala daerah seumur hidup, ataupun prinsip demokrasi menjadi pemerintahan yang berdasarkan pewarisan (keturunan), dikarenakan untuk jabatan Plt. Kepala daerah pun dapat dilakukan pembatasan untuk jabatan yang sama sebagai wakil kepala daerah dalam ihwal hendak mendaftar lagi sebagai calon wakil kepala daerah.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan dan menyatakan bahwa Pasal 7 Ayat (2) huruf n Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang kata “menjabat” dinyatakan hanya berlaku untuk yang menjabat sebagai Bupati definitif dan tidak termasuk untuk yang menjabat sebagai Plt. Bupati.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Saldi mengatakan pemohon perlu menjelaskan perbedaan antara pejabat kepala daerah dengan pelaksana tugas. “Sama tidak pejabat kepala daerah dengan pelaksana tugas? Nah itu yang harus saudara uraikan, sama tidak dengan istilah-istilah lain itu seperti pejabat sementara dan segala macamnya diuraikan, kalau anda tidak menguraikan ini akan menjadi sulit bagi kami untuk kemudian melihat pertentangannya dengan konstitusi,” ujar Saldi.
Selain itu, Saldi juga meminta Pemohon untuk menyederhanakan permohonan pemohon. “Sederhanakan kembali permohonan ini yang paling penting adalah bagaimana kami bisa mengerti dengan apa yang saudara inginkan. Jadi tidak usah menguraikannya terlalu panjang juga,” tegasnya.
Hal yang sama dikatakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat. Arief mengatakan permohonan ini dapat disederhanakan karena persoalannya sudah jelas.
Sebelum menutup persidangan, Arief mengatakan pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Batas akhir perbaikannya diterima paling lambat oleh Kepaniteraan MK selambatnya Senin, 30 Januari 2023 pukul 13.30 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.