JAKARTA, HUMAS MKRI - Partai Bulan Bintang (PBB) mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait atas Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 ihwal Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Permohonan diajukan langsung oleh Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra ke Ruang Pendaftaran Perkara Lantai Dasar Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (13/1/2023) pukul 10.30 WIB. Yusril didampingi Sekjen PBB Afriansyah dan Andi Kristian selaku Tim Hukum Ihza & Ihza Law Firm.
Dalam wawancara singkat dengan awak media MK melalui sambungan telepon, Andi Krisitian selaku salah satu anggota tim yang hadir langsung ke MK menyebutkan pihaknya mendukung pelaksanaan pemilu kembali menerapkan sistem proporsional tertutup atau pencoblosan melalui partai politik dan bukan melalui calon legislatif (caleg). PBB merupakan satu dari dua partai di parlemen yang mendukung sistem proporsional tertutup setelah PDI Perjuangan. PBB dalam sikapnya menyatakan melihat kondisi pemilihan umum sebelumnya, sistem proporsional tertutup dirasakan lebih membawa banyak manfaat, baik bagi partai maupun bagi pemilih.
“Seperti tadi dalam konpres (konferensi pers) Prof. Yusril menyebutkan sebenarnya pemilu dengan sistem proporsional tertutup dan terbuka itu adalah pilihan. Namun menurut hemat PBB, sistem proporsional tertutup lebih memberikan banyak manfaat,” sampai Andi dalam wawancara lisan pada awak media MK.
Andi menambahkan adanya anggapan bahwa sistem proporsional tertutup akan melanggengkan politik uang dalam pelaksanaan pemilu, PBB melihat hal demikian tidak sepenuhnya benar. Sebab banyak dari kader partai politik yang potensial namun tidak memiliki modal, justru dapat menjadi wakil dari suatu partai politik.
“Mekanismenya bukan seperti beli kucing dalam karung karena pemilih sejatinya tidak akan kebingungan dengan hanya mencoblos partai. Mekanisme ini telah ada sejak Pemilu 1955,” jelas Andi.
Untuk itu, Andi mengatakan bahwa PBB dalam langkah konkret mengambil momentum sebagai Pihak Terkait dari pengajuan permohonan Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 ke MK ini. Harapannya, PBB dapat memberikan dukungan melalui argumentasi hukum dengan cara yang sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
Sementara itu pada pada Selasa (10/1/2023) lalu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) telah terlebih dulu mengajukan diri sebagai Pihak Terkait ke MK. Francine Widjojo selaku juru bicara DPP PSI dalam sesi wawancara menyatakan sikap PSI secara tegas menolak sistem proporsional tertutup. Menurut PSI, kedaulatan berada di tangan rakyat dan harus dibela untuk kepentingan rakyat. Adapun delapan partai lainnya yang juga menolak sistem proporsional tertutup yaitu Partai Demokrat, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PKS, PAN, dan PPP.
Baca juga:
Menyoal Konstitusionalitas Sistem Proporsional Terbuka dalam Pemilu
PSI Tolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
Untuk diketahui, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Saat sidang pendahuluan di MK pada Rabu (23/11/2022), para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Mestinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
Para Pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Yakni, menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga apabila pasal-pasal a quo dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil. Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.