JAKARTA, HUMAS MKRI - Zico Leonard Djagardo Simanjuntak yang berprofesi sebagai advokat, pernah digugat oleh Grab Indonesia hingga tingkat kasasi atas pencemaran nama baik. Kejadian tersebut mendorong Zico untuk mengujikan ketentuan Pasal 433 ayat (3), Pasal 434 ayat (2), dan Pasal 509 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana terhadap perkara Nomor 1/PUU-XXI/2023 ini digelar di MK pada Kamis (12/1/2023) oleh Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Pasal 433 ayat (3) KUHP menyatakan, “Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.”
Pasal 434 ayat (2) KUHP menyatakan, “Pembuktian kebenaran tuduhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat dilakukan dalam hal a. hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran tuduhan tersebut guna mempertimbangkan keterangan terdakwa bahwa terdakwa melakukan perbuatan tersebut untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri; atau b. pejabat dituduh melakukan sesuatu hal dalam menjalankan tugas jabatannya.”
Pasal 509 huruf a dan b KUHP menyatakan, “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III: a. advokat yang memasukkan atau meminta memasukkan dalam surat gugatan atau permohonan cerai atau permohonan palilit, keterangan tentang tempat tinggal atau kediaman tergugat atau debitur, padahal diketahui atau patut diduga bahwa keterangan tersebut bertentangan dengan keadaan sebenarnya; b. suami atau istri yang mengajukan gugatan atau permohonan cerai yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat sebagaimana dimaksud dalam huruf a: atau c. kreditur yang mengajukan permohonan pailit yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat sebagaimana dimaksud dalam huruf a.”
Zico (Pemohon) melalui kuasa hukum Rustina Haryati menjelaskan, pada Agustus 2019, ketika Pemohon masih mahasiswa FHUI, Grab Indonesia mengadakan tantangan (challenge) yang berhasil diselesaikan Pemohon untuk mendapatkan reward sebesar satu juta rupiah. Namun, reward tersebut tidak didapatkan Pemohon. Pemohon tetap beritikad balk berkomunikasi dengan Grab dimana Grab hanya terus berjanji akan memberikan reward, namun reward tetap tidak diberikan.
Selanjutnya, pada Selasa, 3 September 2019, melalui kuasa hukum David Tobing, Pemohon memasukkan berkas gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan tersebut diliput oleh media, bahkan media berusaha mengkonfirmasi kepada Grab Indonesia, namun tidak ada jawaban. Pertanyaan konfirmasi media kepada pihak Grab hanya "diread". Esoknya, Rabu 4 September 2019, Grab tiba-tiba memberikan reward tersebut ke akun grab Pemohon.
Sejak itu, Pemohon tidak mengajukan upaya hukum apa pun lagi. Namun tiba-tiba, pada 5 Februari 2020, Pemohon mendapat somasi dari Grab Indonesia melalui kuasa hukum mereka, Rajamada & Partners. Isi dari somasi tersebut mengklaim Pemohon telah merusak nama baik Grab dan meminta ganti rugi Satu Milyar Rupiah;
Pemohon tidak mengindahkan somasi tersebut, dan kemudian tiba-tiba Pemohon digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 10 Maret 2020 dengan nomor perkara 191/Pdt.G/2020/PN Jkt.Brt. Isi gugatan tersebut sama seperti somasi, mengklaim Pemohon merusak nama baik Grab, namun di gugatan ini mereka meminta ganti rugi sebesar lima ratus juta rupiah, dimana nominal tersebut adalah biaya yang keluar untuk honorarium jasa advokat bagi pengacara Grab, yakni Lawfirm Rajamada & Partners (di persidangan mereka menunjukkan bukti transfer, namun tidak menunjukkan pembayaran pajak). Jelas gugatan ini sengaja dibuat-buat hanya untuk memperkarakan Pemohon;
Di tingkat pengadilan negeri, gugatan mereka ditolak. Begitu pula di tingkat Banding, ditolak juga. Namun, sebegitu gigihnya mereka mengklaim bahwa konsumen mereka sendiri telah merusak nama baik mereka, mereka pun mengajukan kasasi. Di tingkat kasasi yang diputus pada 6 Desember 2022, akhirnya diputus gugatan mereka ditolak juga. Akhir perkara ini menunjukkan bahwa Pemohon adalah warga negara paham hukum yang beritikad balk, namun dituduh mencemarkan nama balk oleh perusahaan besar
Saat ini, jelas Rustina, Pemohon tidak khawatir seandainya pun pihak perusahaan tersebut menempuh jalur pidana menggunakan UU ITE. Sebab telah ada Suat Keputusan Bersama UU ITE antara Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI, dan Kepala Kepolisian NRI. Namun keberadaan KUHP terbaru mencabut Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan pasal terbaru hanya menyatakan “tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.”
“Artinya hal ini berpotensi bahwa Pemohon tidak mendapatkan perlindungan hukum yang adil, karena berpotensi dilaporkan ke polisi, harus menghadapi panggilan polisi, harus diperiksa polisi, padahal Pemohon dalam hal ini tidak bersalah apapun,” jelas Rustina.
Kejelasan Kerugian Konstitusional
Hakim Konstitusi Enny dalam nasihatnya menyoroti objek permohonan perkara yang belum menyebutkan undang-undang yang belum memiliki kejelasan. Hal ini terlihat dari nomor undang-undang yang tidak disertakan oleh Pemohon. Untuk itu, Pemohon diharapkan dapat memperjelas objek permohonannya. Berikutnya, Enny mencermati bahwa KUHP yang diujikan ini memiliki kekhususan yakni terkait pemberlakuannya yakni 3 tahun sejak diundangkan.
“Bagaimana Anda bisa membangun argumentasi bahwa UU ini belum ada daya ikat meski belum mengikat kepada siapapun. Pasal-pasal yang diujikan ini belum mengikat siapapun, lalu bagaimana membangun argumentasi atas adanya kerugian konstitusional, adanya di sini kasus konkret dan ini sudah diputus oleh Mahkamah,” jelas Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat mencermati bagian kewenangan Mahkamah saat ini adalah mengadili KUHP yang lama dan belum KUHP terbaru yang dimohonkan pada perkara ini. Sebab norma ini belum berlaku dan belum mengikat warga negara Indonesia. Sebab KUHP ini baru berlaku 3 tahun mendatang. Untuk itu, Pemohon diharapkan dapat membangun argumentasi hukum atas kewenangan MK menangani perkara ini. Selanjutnya berkaitan dengan kerugian konstitusional Pemohon yang dinyatakan bersifat potensial, Arief menasihati Pemnohon agar memahami konsep kerugian yang bersifat potensial dan aktual atas keberadaan UU a quo. “Pelajari pula lebih lanjut naskah akademik saat menyusun KUHP baru khususnya pada norma yang diujikan ini,” jelas Arief.
Berikutnya Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan tambahan mengenai pasal-pasal yang diujikan ini pada hakikatnya telah terdapat pendirian MK tentang criminal policy yang harus melalui pembentuk undang-undang. “Oleh karena itu, atas hal ini MK telah berpendirian dengan sangat hati-hati atas perampasan hak yang ini MK apakah berhak mengadilinya, ini sudah jelas penilaiannya,” sebut Suhartoyo.
Setelah panel hakim menyampaikan nasihat pada sidang pendahuluan ini, berikutnya Panel hakim memberikan waktu kepada Pemohon selambat-lambatnya hingga Rabu, 25 Januari 2023 pukul 11.00 WIB untuk memperbaiki permohonannya. Kemudian naskah perbaikan dapat diserahkan ke Kepaniteraan MK dan diagendakan untuk sidang berikutnya.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.