JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang kedua terhadap uji materiil aturan kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Kedokteran) pada Selasa (10/1/2023). Majelis Sidang Panel dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan ini terdiri atas Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, Suhartoyo, dan M. Guntur Hamzah.
Gede Eka Rusdi Antara yang semula menjadi Pemohon pada permohonan ini mengikutsertakan empat Pemohon lainnya yang juga berprofesi sebagai dokter dan calon dokter (mahasiswa fakultas kedokteran). Viktor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukum menyampaikan para Pemohon pada Perkara Nomor 119/PUU-XX/2022 ini awalnya menguji tiga pasal, yakni Pasal 59 ayat (1), Pasal 59 ayat (2) huruf g dan Pasal 69 ayat (1) UU Kedokteran. Kemudian pada permohonan hari ini mengganti norma yang diujikan, yakni Pasal 60 dan Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran.
“Terhadap legal standing para Pemohon bahwa Pemohon 1 dan 2 adalah dokter yang terdampak langsung atas berlakunya pasal a quo karena mendapatkan penegakan kedisiplinan, sedangkan untuk Pemohon 3 dan 4 adalah dokter yang dalam penalaran wajar sehingga layak mendapatan kedudukan hukum. Berikutnya Pemohon 5 adalah anggota Badan Eksekutif Mahasiswa dati Fakultas kedokteran dapat dipastikan akan menjadi dokter dan mengalami kerugian yang sama,” jelas Viktor.
Selanjutnya kuasa hukum berikutnya, Ardiyanto Panggeso menyebutkan alasan-alasan pengajuan permohonan yang pada intinya disebutkan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1 ) UUD 1945.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Syarat Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
Dalam sidang perdana yang digelar pada Kamis (15/12/2022), Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam kasus konkret, Pemohon berdasarkan Putusan MKDKI mendapatkan sanksi berupa pencabutan surat tanda registrasi (STR) untuk sementara selama 12 bulan, terhitung sejak 24 Oktober 2022 – 24 Oktober 2023. Selama kurun waktu tersebut, segala bentuk perizinan dan penugasan penyelenggaraan praktik kedokteran milik Pemohon dinyatakan tidak berlaku. Akibat dari sanksi tersebut, Pemohon mengalami kerugian langsung karena diberhentikan untuk praktik di Rumah Sakit Umum Surya Husadha, Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, dan Rumah Sakit Umum Bali Royal.
Atas dasar keputusan MKDKI tersebut, Pemohon melakukan gugatan perdata dan laporan pidana ke kepolisian. Dalam mekanisme penegakan disiplin, proses pemeriksaan hanya dilakukan pada sidang yang digelar oleh MPD dan kemudian putusannya dijadikan Keputusan MKDKI yang dijadikan pula sebagai Keputusan KKI tanpa dapat direviu jika terdapat kesalahan/kekeliruan majelis pemeriksa disiplin dalam memeriksa dan memutus pengaduan dugaan pelanggaran disiplin. Akibat berlakunya ketentuan Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (2) huruf g UU Kedokteran, Viktor menyebutkan bahwa Pemohon menjadi tidak mendapatkan penilaian atas tindakan praktik kedokteran secara kompeten dan berimbang.
Selain itu, berlakunya ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU Kedokteran membuat Pemohon tidak mendapatkan mekanisme transparan dan adil, serta tidak bisa mendapatkan kesempatan mekanisme reviu/koreksi berjenjang karena putusan Majelis Pemeriksa Disiplin (MPD) langsung menjadi Keputusan MKDKI dan mengikat bagi KKI. Ditambah pula dengan berlakunya ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU Kedokteran tersebut, Pemohon tidak mendapatkan kepastian hukum yang adil karena berdasarkan Keputusan MKDKI dapat dijadikan dasar melakukan gugatan baik perdata maupun pidana.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana