JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) pada Senin (9/1/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan perkara Nomor 118/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Juliana Helemaya (Pemohon I) yang berprofesi sebagai pekerja swasta dan Asril (Pemohon II) yang berprofesi sebagai petani. Majelis Sidang Panel dengan agenda mendengarkan penyampaian perbaikan permohonan perkara ini terdiri atas Hakim Konstitusi Suhartoyo, Saldi Isra, dan M. Guntur Hamzah.
Faigi’asa Bawamenewi selaku kuasa hukum menyampaikan beberapa perbaikan permohonan yang telah dilakukan pihaknya, di antaranya bagian kewenangan MK dengan memuat perubahan undang-undang yang menyertainya; kerugian yang dialami para Pemohon; menambahkan Putusan MK terdahulu yang terkait dengan dalil permohonan ini; alasan permohonan dengan mengutip pendapat beberapa ahli; dan petitum tentang frasa permohonan yang diuji. “Petitumnya menjadi menyatakan Pasal 79 angka 1 KUH Pidana yang sama dengan 137 huruf a RUU KUHP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, …” sampai Faigi’asa terhadap permohonan para Pemohon yang mengujikan Pasal 79 angka 1 KUH Pidana.
Baca juga: Multitafsir Penghitungan Daluarsa Tindak Pidana Pemalsuan Surat
Dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Selasa (13/12/2022) lalu, para Pemohon dalam kasus konkret menyebutkan bahwa penyidik Polda Riau dan Polresta Pekanbaru dalam menerapkan ketentuan daluarsa pemalsuan surat menggunakan Pasal 79 KUH Pidana saja. Para aparat hukum tersebut menghitung daluarsa surat palsu adalah sejak surat yang diduga keras palsu itu digunakan, sedangkan dalam beberapa putusan pengadilan dan pendapat para ahli hukum berbeda satu sama lain. Misalnya saja, sambung Faigi, Putusan MA Nomor 2224 K/Pid/2009, Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 261/Pid/2014/PT.Bdg, Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Praperadilan nomor 05/Pid.Pra/2018/PN.Pbr.
Menurut para Pemohon, berdasarkan pasal yang diujikan ini penerapan penghitungan daluarsa tindak pidana pemalsuan surat dan/atau surat otentik oleh para penegak hukum, baik Polri, jaksa, hakim, dan pengacara ditafsirkan saling berbeda satu dengan lainnya sesuai pendapat masing-masing. Sehingga perlindungan terhadap hak-hak korban dan/atau pelapor dan/atau pihak yang dirugikan tidak mendapatkan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina