JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Senin (9/1/2023). Agenda sidang perkara Nomor 117/PUU-XX/2022 yaitu pemeriksaan perbaikan permohonan.
Partai Berkarya (Pemohon) diwakili oleh kuasa hukumnya, Rino, mengatakan terdapat penambahan beberapa poin, di antaranya mengenai kedudukan hukum dan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. “Ada penambahan tersebut di romawi 2 tentang kedudukan hukum dan kerugian ada di poin 3,” ujar Rino secara daring.
Sedangkan untuk petitum tidak mengalami perubahan. “Petitum masih sama dengan sebelumnya,” tegasnya.
Pada kesempatan tersebut, panel hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dengan didampingi Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, mengesahkan alat bukti yang diajukan oleh pemohon. “Kami telah juga menerima alat bukti P1-P17 dan telah diverifikasi oleh Mahkamah. P1-P17, kita sahkan terlebih dahulu, ya. Baik alat bukti P1-P17 disahkan,” tandas Guntur.
Baca juga:
Partai Berkarya Uji Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden
Sebagai informasi, permohonan Nomor 117/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Berkarya, yang diwakili oleh Muchdi Purwopranjono sebagai Ketua Umum DPP Partai Berkarya dan Fauzan Rachmansyah sebagai Sekretaris Jenderal DPP Partai Berkarya.
Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Kamis (15/12/2022), Partai Berkarya (Pemohon) melalui kuasa hukum M. Malik Ibrahim menyatakan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu telah membatasi atau mereduksi hak konstitusional Pemohon untuk mengajukan calon presiden atau calon wakil presiden karena sedemikian rupa mengatur persyaratan calon presiden atau wakil presiden yaitu belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama atau sering disebut selama 2 (dua) periode yang dibuktikan dengan surat pernyataan.
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 7 UUD 1945 terbagi atas dua kalimat yaitu: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Apabila membaca secara utuh satu kesatuan norma Pasal 7 UUD 1945 yang saling bertalian, maka satu paket pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang sedang memegang jabatan selama lima tahun lah yang sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan (lima tahun).
Apabila individu presiden atau wakil presiden yang sedang menjabat mencalonkan diri atau dicalonkan dengan memilih pasangan baru lainnya yang berbeda untuk menjadi calon wakil presiden atau calon presidennya, maka terhadap individu presiden atau individu wakil presiden yang sedang menjabat tersebut tidak terikat dan tidak berlaku ketentuan Pasal 7 UUD 1945 yang mengatur dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan karena pasangan mereka (individu presiden atau individu wakil Presiden) dalam pemilihan selanjutnya bukanlah orang yang sedang menjabat sebagai presiden atau wakil presiden, melainkan orang baru lainnya yang berbeda. Oleh karena itu, dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.