INILAH.COM, Jakarata â Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluhkan hasil amandemen UUD 1945 amandemen I-IV. Dalam pertemuannya dengan Lembaga Kajian Konstitusi (LKK), Senin (21/4), presiden juga mengeluh atas tidak imbangnya hubungan eksekutif-legislatif, sehingga membuat ruang gerak presiden sulit dalam menjalankan program kerjanya.
Hal ini sejalan dengan gagasan usulan komprehensif amandemen oleh Dewan Perwakilan Daerah. Untuk mengetahui pertemuan antara LKK dan presiden, INILAH.COM secara khusus mewawancarai Wakil Ketua LKK Albert Hasibuan. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana sebenarnya persepsi LKK, sehingga Presiden SBY merasa "terbelenggu" oleh isi UUD 1945 hasil amandemen ini?
Memang tadi terlihat adanya persepsi yang sama antara presiden dan LKK tentang konstitusi kita sekarang ini. Banyak perubahan, sehingga muncul kekurangan dan ketidaksempurnaan, itu yang kita deteksi. Walaupun, dalam amandemen UUD 1945 yang terjadi hingga empat kali tersebut ada hal yang positif juga. Tetapi kelemahan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan itu mengakibatkan kekacauan.
Poin apa saja yang dikeluhkan presiden berkaitan dengan UUD 1945?
Jadi presiden berbicara dan kita menyamakan persepsi. Bahwa dalam UUD 1945 yang sekarang ini, terdapat "legislatifisasi", terjadi "dominasi DPR". Presiden juga mengatakan, tangan dan kakiknya terikat, sehingga presiden merasa tidak bisa meng-eksekusi program pemerintah, karena memang tangan dan kakinya terikat. Jadi, maunya bergerak banyak, tapi tangan dan kakinya terikat. Kita membenarkan hal itu.
Apa ini ada kaitannya dengan penolakan usulan pemerintah oleh parlemen, baik berkaitan dengan calon gubernur BI maupun beberepa rancangan undang-undang yang dimentahkan oleh parlemen?
Memang peristiwa-peristiwa itu tidak disebutkan, tetapi dirasakan akibat peristiwa itu DPR terlihat over active dan malahan bersifat lebih dominan. Lebih banyak segala program pemerintah harus melalui DPR. DPR juga dirasa lebih banyak mendominasi kekuasaan dengan meniadakan program-program itu. Itu yang dirasakan.
Bagaimana pandangan LKK sendiri? Poin apa sebenarnya yang perlu disusun ulang dalam konteks hubungan presiden-parlemen, sehingga terjadi hubungan yang ideal?
Jadi karena konstitusi UUD 1945 menganut check and balances, harus terjadi adanya keseimbangan antara presiden dan parlemen.
Apa Anda melihat selama ini tidak ada keseimbangan itu?
Kalau di era sebelumnya, kekuasaan lebih didominasi oleh eksekutif. Tapi setelah reformasi, ini cenderung bergerak ke ekstrim lain yang mengakibatkan kuatnya dominasi legislatif. Itu yang menimbulkan ketidaksehatan politik dalam kehidupan sehari-hari.
Ketidakseimbangan antara presiden dan DPR ditimbulkan oleh check and balances tidak jalan. Hal itu sedikit banyak tergambar dalam kegiatan politik. Kita memikirkan presiden seharusnya, dalam perpolitikan Indonesia yang beragam persoalan ini, bertindak sebagai presiden yang kuat, eksekutif yang betul-betul kuat. Tapi tidak dalam kategori strong executive seperti di era Orde Baru.
Poin konkret apa yang harus diubah sebagaimana usulan presiden?
Tidak ada secara konkret, tapi kita baca di balik pembicaraan itu ada keluhan tentang ketidakseimbangan yang ditimbulkan oleh situasi sekarang ini.
Usulan konkret LKK sendiri apa, dalam konteks menyeimbangkan hubungan eksekutif dan legislatif?
Usulan kita nantinya, kalau kita jadi menyempurnakan UUD 1945, harusnya legislatif dan eksekutif harus seimbang. Dalam arti, misalnya saat ini ada pasal yang menyebutkan penunjukan duta besar asing harus melalui DPR.
Itu contoh yang konkret dari "legislatifisasi" itu. Saat ini ada ketentuan kalau ada rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh DPR, seandaianya presiden tidak menandatangai selama 30 hari, maka secara otomatis rancangan undang-undang tersebut dapat berfungsi. Itu juga refleksi dari dominasi kekuasan legislatif. Itu semuanya juga harus diperbaiki.
Termasuk pula uji kelayakan dan kepatutan melalui DPR dalam menyaring anggota lembaga negara, perlu ditinjau ulang?
Ya. Fit and proper test memang diperlukan. Tapi ada hal-hal tertentu di mana harus melalui DPR. Tetapi ada kalanya fit and proper test digunakan dalam hal yang tidak perlu. Ini harus dipikirkan lagi.
Apakah ini isyarat dukungan presiden terhadap usulan komperhensif amandemen yang digagas Dewan Perwakilan Daerah (DPD)?
Saya pikir demikian. Usulan DPD tentang amandemen ternyata juga mendapat respons dari presiden dan LKK. [R FERDIAN ANDI R]
Sumber www.inilah.com
Foto www.inilah.com