JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian). Permohonan diajukan oleh Sandi Ebenezer Situngkir, seorang advokat. Sidang pengucapan Putusan Nomor 104/PUU-XX/2022 ini digelar di MK pada Selasa (20/12/2022).
“Amar Putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Pertimbangan hukum putusan yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyebutkan tidak semua orang mempunyai hak untuk dapat mengajukan permohonan ke MK. Hanya pihak yang benar-benar mempunyai kepentingan hukum yang berkenaan dengan hak konstitusionalnya untuk dapat menjadi pemohon. Hal ini sesuai dengan adagium: ada kepentingan, ada gugatan (point d’interet point d’action). Kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan hukum yang berkenaan dengan hak konstitusionalnya atas berlakunya norma suatu undang-undang yang dilakukan pengujian terhadap UUD 1945 yang dirumuskan dalam bentuk anggapan kerugian hak konstitusional.
Menurut Mahkamah, Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik bentuk kerugian yang secara potensial akan diderita atau dialami oleh Pemohon. Dalam hal ini, Pemohon tidak mengajukan bukti atau setidak-tidaknya memberikan argumentasi mengenai bentuk atau tindakan sewenang-wenang seperti apa yang dilakukan oleh anggota kepolisian serta kerugian seperti apa pula yang akan dialami oleh Pemohon berkaitan dengan tidak adanya kewenangan Kompolnas untuk mengawasi dan memeriksa pelanggaran anggota kepolisian sebagaimana yang dijelaskan oleh Pemohon.
Mahkamah tidak menemukan fakta hukum dimaksud. Sehingga, berdasarkan penalaran yang wajar, anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon tersebut belum dapat dipastikan akan terjadi.
“Ikhwal bentuk kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud pada huruf c, yaitu syarat untuk menjadi komisioner Kompolnas, Pemohon juga tidak dapat menjelaskan secara spesifik anggapan kerugian hak konstitusonal yang dialami, baik sebagai perseorangan maupun sebagai advokat. Mahkamah juga tidak menemukan argumentasi Pemohon yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa syarat untuk menjadi komisioner Kompolnas yang berasal dari unsur pemerintah, pakar kepolisian, dan tokoh masyarakat telah menimbulkan kerugian yang spesifik dan aktual terhadap hak konstitusional Pemohon sebagai perseorangan warga negara maupun dalam profesinya sebagai advokat. Sebab, anggapan kerugian hak konstitusional yang didalilkan Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya berkenaan dengan berlakunya norma Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002 tidak dijelaskan kriteria unsur masyarakat seperti apa yang dimaksud oleh Pemohon, sehingga tidak diketahui apakah Pemohon memenuhi kriteria unsur masyarakat yang dimaksudkan oleh Pemohon,” urai Enny.
Terkait dengan hal tersebut di atas, menurut Enny, Panel Hakim telah menyampaikan dalam Persidangan Pendahuluan agar Pemohon memperbaiki uraian argumentasi kerugian hak konstitusional yang dialaminya. Selain itu, Panel Hakim juga telah memberikan saran perbaikan untuk melengkapi uraian mengenai kedudukan hukum dengan mencantumkan peristiwa konkret yang dialaminya, misalnya pernah dilaporkan terkait dengan pasal yang sedang dimohonkan pengujian.
Namun demikian, hingga lewatnya tenggat waktu penyampaian perbaikan permohonan, Pemohon tidak menyampaikan perbaikan dimaksud. Bahkan, dalam persidangan pendahuluan dengan agenda menyampaikan perbaikan permohonan dan pengesahan alat bukti pada tanggal 21 November 2022, Pemohon juga tidak menghadiri sidang tersebut tanpa alasan.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Walaupun Mahkamah berwenang mengadili permohonan, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon maka pokok permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan. Terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan oleh Mahkamah karena dipandang tidak ada relevansinya.
Baca juga:
Menyoal Ketiadaan Mekanisme “Check and Balances” dalam Tubuh Polri
Pemohon Uji UU Kepolisian Tidak Hadir dalam Sidang Pemeriksaan Perbaikan
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 104/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) diajukan oleh Sandi Ebenezer Situngkir. Adapun materi yang diujikan yaitu Pasal 15 ayat (2) huruf k, Pasal 16 ayat (1) huruf l, Pasal 18 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), dan Pasal 39 ayat (2) UU Kepolisian.
Sandi Ebenezer Situngkir (Pemohon) dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan mengatakan pasal-pasal yang diujikan tersebut tidak memiliki kejelasan tujuan dan kepastian hukum sebagaimana dimaksudkan dalam UU pembentukan perundang-undangan. “Pada pokoknya terkait dengan Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 18 itu terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan lain menurut penafsiran sendiri,” ujar Sandi.
Menurut Sandi, kewenangan Kepolisian dalam UU tersebut tidak bersifat limitatif. Ia mengatakan parameter penafsiran terhadap kewenangan Kepolisian sangat bias.
“Sudah begitu banyak kewenangan yang diberikan UU kepada Kepolisian baik di ruang lingkup tugas, fungsi dan kewenangan. Akan tetapi dalam penentuan tersebut masih ada ketentuan yang sifatnya sangat tidak terukur. Padahal UU itu bersifat limitatif. Limitatif harus jelas tujuan dan kepastian hukumnya,” ujarnya dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Selain itu Sandi mempersoalkan mengenai kewenangan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) hanya memberikan saran dan pendapat kepada presiden. Sehingga, menurut pandangan Pemohon tidak ada fungsi check and balances dalam UU Kepolisian tersebut.
“Meskipun secara internal ada fungsi pengawasan akan tetapi dalam UU Kepolisian tidak ada fungsi Kompolnas terkait dengan apakah dia sebagai lembaga pengawas pada kepolisian atau tidak. Dengan jelas ditentukan dalam UU tersebut dia hanya berwenang memberikan saran kepada presiden terait dengan calon kapolri dan fungsi anggaran di kepolisian. Sehingga pemohon meminta kepada MK untuk melahirkan norma baru apakah menurut MK terkait check and balances itu sangat diperlukan terkait kinerja kepolisian ke depannya,” jelasnya.
Pemohon juga menyebutkan dalam permohonannya bahwa ia mengalami kerugian konstitusional akibat adanya ketentuan Pasal 39 dan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) juncto ayat (3) UU Kepolisian yang membatasi Pemohon sebagai warga negara yang bekerja sebagai advokat untuk menjadi Komisioner Kompolnas. Pengaturan keanggotaan Kompolnas yang terdiri dari 3 (tiga) unsur Pemerintah setingkat menteri yaitu Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Dalam Negeri adalah 7 bertentangan dengan fungsi check and balance dimana baik Kapolri maupun Menteri adalah orang yang diangkat oleh Presiden dan berada dalam ruang lingkup kewenangan Presiden, sehingga tidak mungkin melakukan pengawasan terhadap kepolisian.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.