JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Permohonan ini diajukan oleh Rudy Hartono Iskandar.
Sidang pengucapan Putusan Nomor 96/PUU-XX/2022 digelar di MK pada Selasa (20/12/2022). Pertimbangan Hukum Mahkamah dalam putusan ini dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Suhartoyo.
Hakim Konstitusi Suhartoyo menyebutkan, pokok permasalahan yang dihadapi Rudi Hartono Iskandar yang mengujikan Pasal 1 angka 24 dan Pasal 7 ayat (1) KUHAP ini, menyoal lamanya waktu pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik sejak ditetapkannya perkara Pemohon memenuhi unsur tindak pidana hingga penetapan Pemohon sebagai Tersangka. Oleh karenanya, Pemohon merasa tidak adanya jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil akibat terkatung-katungnya nasib Pemohon dalam waktu kurang lebih selama lima tahun.
Bukan Persoalan Konstitusionalitas
Terhadap permasalahan tersebut, sambung Suhartoyo, bukanlah persoalan konstitusionalitas dari Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP, melainkan permasalahan implementasi dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana. Sepanjang dalam pemeriksaan suatu perkara yang didasarkan pada adanya laporan yang kemudian berkembang menjadi beberapa perkara dikarenakan sifat dari perkaranya yang melibatkan pihak yang banyak dan terkait dengan tindak pidana lain yang mempunyai kualifikasi yang berbeda-beda, maka sangat memungkinkan pemeriksaan perkara memerlukan waktu yang lama dan bertambahnya perkara lebih dari satu perkara. Akibatnya dibutuhkan pula penyidikan tersendiri terhadap dugaan adanya tindak pidana baru tersebut. Guna memberikan jaminan dan perlindungan hukum serta tertib administrasi pemerintahan yang baik, perlu diterbitkan surat perintah penyidikan baru untuk mengakomodir segala tindak administrasi bagi penyidik untuk melaksanakan kewenangannya.
Kendati terhadap suatu proses penyidikan disediakan mekanisme kontrol melalui lembaga praperadilan berdasarkan Pasal 77 huruf a KUHAP serta berdasar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dan tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, Suhartoyo mengatakan bahwa Mahkamah menegaskan melalui Putusan perkara ini agar aparat penegak hukum (penyidik) untuk tidak menyalahgunakan kewenangan dan proses penyidikan dilakukan secara proporsional dan profesional. Sehingga proses penegakkan hukum pidana benar-benar dijalankan dengan penuh kehati-hatian dan pelanggaran atas hak asasi manusia dapat dihindari, baik untuk pelapor, terlapor, dan kepentingan umum.
“Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon yang memohon pemaknaan terhadap norma Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP menjadi “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: a. Menerima Laporan atau Pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana disertai 1 (satu) Surat Perintah Penyidikan” adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Suhartoyo dalam Sidang Pengucapan Putusan yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.
Suhartoyo meneruskan bahwa ketentuan Pasal 1 angka 24 dan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP telah memberikan kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan serta memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Sehingga, norma tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum dan berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. “Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya” ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan Amar Putusan perkara yang dihadiri oleh para pihak secara daring.
Baca juga:
Mempertanyakan Penerbitan Sprindik Berulang Kali
Pemohon Perbaiki Objek Pengujian KUHAP
Sebagai informasi tambahan informasi, permohonan dengan registrasi Nomor 96/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian materiil KUHAP ini dimohonkan oleh Rudi Hartono Iskandar. Materi yang diujikan Rudi yakni Pasal 1 angka 24 dan Pasal 7 ayat (1) KUHAP. Menurut Rudi, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 1 angka 24 KUHAP berkaitan dengan kewenangan penyidik menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. Selengkapnya Pasal 1 angka 24 KUHAP menyatakan, “Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan: 24. Laporan adalah Pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana”.
Alamsyah Hanafiah selaku kuasa hukum Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK pada Senin (17/10/2022), menyebutkan kasus konkret Pemohon yang mendapatkan 11 surat perintah penyidikan (sprindik) untuk kasus dan objek yang sama dalam Laporan Polisi Nomor LP/656/VI/2016/BARESKRIM tertanggal 27 Juni 2016. Pemohon merupakan tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan rumah susun dan ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Januari 2022. Atas penetapan tersebut, Pemohon mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat untuk memohon pengadilan agar membatalkan penetapan tersangka atas diri Pemohon.
Singkatnya, penetapan tersangka tersebut dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibat surat tersebut Pemohon harus bolak-balik dan mondar-mandir untuk diperiksa penyidik bahkan hingga tujuh tahun. Menurut Pemohon, pasal a quo tidak mengatur tentang surat penyidikan sehingga kepolisian dapat bertindak sewenang-wenang dan sekehendak hati yang dapat melampaui hak-hak Pemohon. Selain itu, Pemohon juga mengajukan permohonan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Tidak terjadi rekayasa hukum, diskriminasi hukum terhadap suatu kasus sangkaan tindak pidana yang berpotensi terjadi pemerasan oleh penyidik. Alamsyah mengungkapkan kasus kliennya tersebut sudah 7 tahun dan terkesan menggantung. Namun penyidikan tetap berlangsung.
Putusan Nomor 96/PUU-XX/2022 selengkapnya dapat dibaca di Sini
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas:Muhammad Halim.