JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua uji materiil Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen pada Kamis (8/12/2022) di Ruang Sidang Panel MK. Pada sidang dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan tersebut, Gunawan A. Tuada dan Abdul Kadir B. selaku Pemohon yang berprofesi sebagai PNS Kemendikbudristek menyampaikan beberapa hal yang telah disempurnakan dari permohonannya.
Abdul menyebutkan telah memperbaiki bagian alasan permohonan terutama tentang pasal a quo bertentangan secara bersyarat karena tidak ditemukan alasan dari pemberhentian sementara atas tunjangan dari dosen/pengajar yang sedang menempuh masa pendidikan atau yang berkaitan dengan sertifikasi dosen. Menurut para Pemohon, hal ini berkaitan dengan potensi kerugian dasar pengambilan kebijakan atas tunjangan kepada dosen. Padahal para Pemohon tetap melakukan pengisian beban kerja selaku pengajar. Sementara itu, norma yang mengatur hak dosen pegawai pengajar pelajar pada Permendikbudristek, maka para Pemohon tetap diberikan tunjangan sertifikasi dosen.
Baca juga: Menyoal Penghentian Sementara Tunjangan Sertifikasi Bagi Dosen Pegawai Berstatus Tubel
Berikutnya Gunawan meneruskan perbaikan yang dilakukan pihkanya yakni tentang pasal yang diujikan di MK ini ditafsirkan secara sepihak oleh Kemendikbudristek dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. “Jadi pasal yang sama dimaknai berbeda antara Kemendikti dan Kemenag, kalau di Kemenag memberikan sertifikasi dosen dengan dasar undang-undang yang sama, sedangkan Kementerian Pendidikan tidak memberikan tunjangan. Maka, yang salah penafsirannya karena ditafsirkan berbeda-beda terhadap norma yang sama,” kata Gunawan dalam Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, dan Manahan M.P. Sitompul.
Terhadap permohonan para Pemohon yang mendalillan Pasal 51 ayat (1) sepanjang frasa “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan” UU Guru dan Dosen ini, Gunawan menyebutkan bahwa pasal a quo bertentangan pula dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, menyebabkan multitafsir oleh pemangku kebijakan. Sederhananya, pasal ini menyebabkan ketiadaan perlakukan hukum yang sama bagi para dosen yang sedang melakukan studi, baik di dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, para Pemohon memohon pada Mahkamah agar mengabulkan permohonan para Pemohon.
Sebelumnya, para Pemohon Perkara Nomor 111/PUU-XX/202 mendalilkan pemaknaan pasal a quo diwujudkan dengan penghentian sementara pembayaran tunjangan profesi dosen terhitung sejak 2009 hingga 2022. Akibatnya, para Pemohon kehilangan hak keuangannya, sedangkan mereka dalam masa menempuh studi lanjutan pada sejumlah perguruan tinggi di Indonesia atau berstatus tugas belajar (tubel). Penafsiran semata ini tidak didasarkan pada kepentingan terbaik para dosen yang diberi tugas belajar, terutama bagi para dosen yang sedang atau akan menempuh studi lanjut dengan biaya sendiri, parsial, ataupun beasiswa demi menunjang kelancaran dan proses penyelesaian studi. Padahal dosen pegawai pelajar pada semua perguruan tinggi negeri ini tetap dibebankan kewajiban untuk melakukan pengisian Beban Kerja Dosen. Sehingga sepanjang dosen pegawai pelajar yang bersangkutan tetap melakukan hal tersebut, maka dapat dikategorikan memenuhi ketentuan perundang-undangan beban kerja dosen dan ia pun seharusnya dapat tetap diberikan tunjangan sertifikasi dosen.
Untuk itu, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon. Para Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 51 ayat (1) UU Guru dan Dosen sepanjang frasa “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, pemaknaannya mencakup pula Dosen yang diberi tugas belajar”.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim