JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kelima uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) pada Selasa (6/12/2022). Sidang untuk Perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Marzuki Darusman (Pemohon I), Muhammad Busyro Muqoddas (Pemohon II), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI/Pemohon III) ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi lima hakim konstitusi lainnya.
Agenda sidang pada hari ini yakni mendengarkan keterangan dari kuasa Presiden (Kejaksaan Agung). Setelah membuka persidangan, Ketua MK mengatakan sidang kali ini dinamakan Sidang Panel Diperluas karena dilaksanakan oleh enam hakim konstitusi, sedangkan konstitusi lainnya sedang menjalankan tugas. Selanjutnya Anwar menanyakan kepada para pihak atas pelaksanaan sidang ini.
Feri Amsari selaku kuasa hukum para Pemohon mengatakan sebagaimana ketentuan hukum acara MK, sidang pleno dilakukan oleh 9 (sembilan) hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dapat dilakukan oleh 7 (tujuh) hakim konstitusi. Oleh karena itu, para Pemohon meminta penundaan sidang hingga jumlah hakim konstitusi yang menyelenggarakan sidang pleno sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Seingat saya, istilah Sidang Panel yang Diperluas sudah pernah diperdebatkan dan tidak digunakan dalam perbaikan UU MK bahwa jumlah hakim melaksanakan tugas minimal tujuh. Tanpa bermaksud melampaui, sebaiknya menunggu jumlah hakim sesuai ketentuan undang-undang untuk menyelenggarakan sidang,” kata Feri dalam sidang yang dihadiri para pihak secara daring.
Akhirnya, berdasarkan kesepakatan forum sidang, Ketua MK menyatakan sidang ditunda. Sidang berikutnya dilaksanakan pada Rabu, 14 Desember 2022 dengan agenda mendengarkan keterangan kuasa Presiden.
Baca juga:
Menembus Batas Teritorial Pengadilan HAM
AJI Perbaiki Kedudukan Hukum dalam Uji UU Pengadilan HAM
Kuasa Presiden Minta Sidang Uji UU Pengadilan HAM Ditunda
Pandangan DPR Soal Pengadilan Pelaku Pelanggaran HAM Berat
Untuk diketahui, permohonan Nomor 89/PUU-XX/2022 dalam perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) diajukan oleh Marzuki Darusman, Muhammad Busyro Muqoddas, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Senin (26/09/2022), para Pemohon menyebutkan frasa “… oleh warga negara Indonesia” Pasal 5 UU Pengadilan HAM menghapus tanggung jawab negara dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Selain itu, frasa tersebut juga menghilangkan prinsip tanggung jawab negara di daerah‑daerah yang pelaku kejahatannya melibatkan negara.
Myanmar hingga saat ini masih mengalami situasi politik yang tidak pasti akibat pemberlakuan keadaan darurat oleh pihak militer. Tragedi kemanusiaan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pun terus terjadi di Myanmar.
Mengutip pandangan Juan E. Mendez, ada tanggung jawab dari negara untuk melindungi korban dan masyarakat dalam kejahatan-kejahatan masif dan sistemik terkait dengan hak asasi manusia. Dengan dibatasi oleh Pasal 5, maka sulit bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia untuk memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. Sebab menurut para Pemohon, Myanmar tidak menjadi bagian dari International Criminal Court karena tidak turut menandatangani Statuta Roma. Sehingga tidak mungkin negara dengan kekuasaan seperti junta militer mendirikan pengadilan HAM untuk mengadili para pejabatnya yang terlibat pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena terjadi kekosongan hukum untuk menindaklanjuti pelaku pelanggaran HAM berat di Kawasan Asia tersebut, diperlukan suatu cara untuk melindungi warga negara—tidak saja di Myanmar, tetapi juga di ASEAN secara keseluruhan untuk bisa mengemban hak-hak membela diri secara pribadi.
Untuk itu, dalam petitum para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan frasa “oleh warga Negara Indonesia” yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.